• Tentang UGM
  • Tentang FEB UGM
  • Logistics Performance Index
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Gambaran Singkat
    • Misi Bidang Kajian MLRP
    • Visi Bidang Kajian MLRP
    • Arah Riset dan Kajian
  • Program dan Kegiatan
    • MLRP Research Club
    • MLRP DataBase
    • MLRP Update
    • MLRP Quarterly
    • MLRP Thesis of The Year
    • MLRP Research
  • Kontak
  • Hubungi Kami
  • Beranda
  • supply chain
  • supply chain
Arsip:

supply chain

Photo by Tim Douglas from Pexels

Deglobalisasi: Globalisasi Rantai Pasokan Tersekat Social Distancing

MLRP Update Friday, 30 April 2021

Apa itu deglobalisasi?

Secara sederhana, deglobalisasi merupakan antitesis dari globalisasi. Jika globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena adanya pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya (Al-Rodhan, 2006), maka deglobalisasi merupakan kebalikannya. Pertanyaannya, apakah ini merupakan hal yang buruk dan berbau negatif? Bagaimana keberlanjutan kegiatan rantai pasokan global jika deglobalisasi terjadi di seluruh dunia? Apakah sistem rantai pasokan yang dibangun selama ini akan runtuh begitu saja seakan-akan tidak berarti dan sia-sia belaka? Tulisan kali ini akan mencoba untuk sedikit membahas mengenai deglobalisasi secara garis besar dan bagaimana implikasinya terhadap praktik rantai pasokan.

Istilah deglobalisasi pertama kali digunakan oleh Walden Bello dalam tulisannya yang berjudul Deglobalization – Ideas for a New World Economy (2005). Bello (2005) menjelaskan deglobalisasi sebagai proses yang akan sepenuhnya mengubah model tata kelola ekonomi global yang ada. Ini juga didukung oleh pendapat beberapa penulis seperti Frankel (2000), James (2001, 2017), Baldwin dan Martin (1999), Williamson (2002), Obstfeld dan Taylor (2002), Sachs dan Warner (1995), dan Taylor (1996) yang mengemukakan bahwa globalisasi ekonomi itu sendiri pada hakikatnya merupakan proses sementara.

Umumnya, globalisasi ekonomi didefinisikan sebagai proses integrasi pasar barang, tenaga kerja, dan modal internasional yang memiliki kekuatan pembangunan paling signifikan pada paruh kedua abad ke-20 (Stanojevic dan Zakic, 2020). Kemudian globalisasi tersebut berkembang pada tiga tingkat yang saling bergantung, yaitu perdagangan internasional, investasi internasional, dan produksi internasional. Globalisasi ekonomi memungkinkan terjadinya globalisasi pada semua lini, sementara salah satu yang terpenting terletak pada rantai pasokan (Stanojevic dan Zakic, 2020).

[embeddoc url=”http://mlrp.feb.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1358/2021/04/3.-AUG-MLRP-Focus-101220.pdf” viewer=”google”]

[Unduh dokumen untuk bacaan selengkapnya]

Photo by Pok Rie from Pexels

Pasang-Surut di Tengah Pandemi

MLRP Update Tuesday, 1 December 2020

Realita yang ada saat ini menunjukkan bahwa mayoritas aktivitas bisnis dari perusahaan-perusahaan multinasional tidak banyak mengindahkan pelajaran di sisi rantai pasokan dari bencana kesehatan pada 1 dekade terakhir, seperti SARS, Ebola, dan MERS. Pada akhirnya, perusahaan mengalami gangguan pasokan yang cukup dalam ketika coronavirus disease (COVID-19) melanda dan dengan pesat menyebar. Demi memastikan hal yang sama tidak terjadi di waktu berikutnya, perusahaan perlu memetakan kembali prioritas rantai pasokan mereka, mana yang utama dan mana yang bisa dikesampingkan. Hal ini mencakup hal-hal seperti mengidentifikasi sumber pengadaan barang dan mengubah pola pikir dalam hal menilai pengadaan barang. Artinya, pengadaan barang bukanlah sebagai wujud dari penghematan biaya, tetapi untuk membangun aspek ketahanan rantai pasokan di tengah pandemi (Choi et al., 2020).

Isu-isu berkaitan dengan rantai pasokan di tengah pandemi COVID-19 mengalami kondisi yang pasang-surut. Pada sisi negatifnya, terdapat isu mengenai harga bahan baku penting yang turun, contohnya kentang, sehingga berimbas langsung pada kesejahteraan petani. Ditambah isu-isu seputar kekurangan pekerja, minimnya pengetahuan terkait teknologi informasi, tidak adanya pusat informasi seputar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang tetap berjalan, masalah transportasi produk yang cepat rusak/basi, dan lain-lain. Sedangkan pada sisi positifnya, ada beberapa perusahaan yang tidak mengalami kendala signifikan dengan rantai pasokannya dan tetap mencatat pertumbuhan dalam kondisi pandemi yang sangat menantang seperti sekarang ini. Salah satunya adalah PT. Unilever yang menunjukkan kenaikan sebesar 2.4% di paruh pertama tahun 2020 (Harianpelita.co, 2020).

Secara garis besar pada konteks global, keadaan rantai pasokan di tengah pandemi COVID-19 semakin menunjukkan adanya kestabilan. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa perusahaan yang secara mandiri melakukan perubahan strategi. Misalnya, Kodak dan beberapa perusahaan fotografi lainnya seperti Fujifilm secara serentak ‘mengubah haluan‘ menjadi perusahaan produsen obat generik untuk melawan infeksi COVID-19. Mereka melakukan repurposing orientation demi tercapainya rantai pasokan obat-obatan yang terjamin di tengah pandemi. Beberapa perusahaan lainnya juga telah mampu mengidentifikasi dan menentukan apa yang menjadi fokus mereka, beradaptasi dan menjadi tangkas, hingga pada akhirnya mendorong rantai pasokan agar bertahan.

[Unduh dokumen untuk bacaan selengkapnya]

sum jul 2 sum jul 3

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Photo by Sunyu Kim from Pexels

Ketahanan Rantai Pasokan: Restrukturisasi Digital

MLRP Update Tuesday, 1 December 2020

Survei Gartner’s Weathering the Supply Chain Storm terhadap 236 profesional rantai pasokan menunjukkan bahwa hanya sekitar 21% pemimpin industri yang meyakini bahwa rantai pasokan mereka saat ini memiliki ketahanan tinggi, sedangkan 55% lainnya berharap dapat mengembangkan karakteristik tersebut dalam dua hingga tiga tahun ke depan (Gartner, 2020).

Black swan dari Rantai Pasokan di Era Pandemi

Selama ini resilienceatau ketahanan hanyalah sebuah aspek umum dari rantai pasokan yang jarang ditempatkan di tengah sorot utama pembahasan. Tidak sampai 1 dekade terakhir hingga serangan pandemi coronavirus disease (COVID-19) yang melanda sejak tahun 2020. Bagaikan black swan, ketahanan menjadi isu yang tidak dapat dipinggirkan ketika membahas hal-hal yang berkaitan dengan logistik dan rantai pasokan di tengah pandemi COVID-19.

Sebelum pandemi COVID-19 melanda, penggunaan sumber tunggal, just-in-time, dan fokus pada biaya merupakan kapabilitas rantai pasokan yang paling efisien (Zimmerman, 2020). Dilansir dari Supply & Demand Chain Executive (2020), Dewan Profesional Manajemen Rantai Pasokan (Council of Supply Chain Management Professionals (CSCMP)) Kearney, melalui Penske Logistics, memperkenalkan sebuah tema “Resilience Tested” untuk laporan tahunan logistik ke-31. Laporan utama tersebut menunjukkan bahwa ekonomi nasional AS mengalami pertumbuhan sebesar 2,3% yang kemudian meningkatkan PDB sebesar $21,43 triliun. Selain itu, pengeluaran industri logistik yang mendukung ekonomi nasional AS juga tumbuh menjadi $1,652 triliun (CSCMP, 2020). Namun ketika pandemi melanda, fokus rantai pasokan seketika beralih pada penekanan fleksibilitas dan kapasitas cadangan untuk mengatasi risiko serta ketidakpastian (CSCMP, 2020) yang dibawa oleh COVID-19.

Sebagai implikasi, bidang logistik dan rantai pasokan perlu membangun tingkat ketahanan rantai pasokan (supply chain resilience) yang baru melalui perencanaan multi-modal & multi-carrier alternative untuk rute yang ada (CSCMP, 2020). Selain itu, pandemi saat ini telah mendorong setiap industri untuk mempertimbangkan kembali rantai pasokan dan strategi logistik mereka dengan mengarah pada lokalisasi, yang dalam istilah industri logistik disebut sebagai local for local (Business Facilities, 2020).

Lalu bagaimana peran teknologi digital dalam mewujudkan ketahanan rantai pasokan?

[Unduh dokumen untuk bacaan selengkapnya]

focus juni 1 focus juni 2 focus juni 3

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

White Paper: Peta & Tren Riset Manajemen Logistik & Rantai Pasokan 2016-2019

MLRP Research Thursday, 26 November 2020

Riset mengenai Manajemen Logistik dan Rantai Pasokan (MLRP) selalu tumbuh dan berkembang hingga saat ini, akan tetapi tetap menarik untuk dibahas karena lingkungan dalam kegiatan bisnis juga terus berubah dan berkembang. Meskipun telah banyak riset yang dilakukan sebelumnya, hal ini ternyata tidak menjadikan topik MLRP menjadi ranum, hal ini disebabkan oleh tantangan-tantangan yang memberikan dampak ketidakpastian, baik di lapangan maupun secara konsep. Tantangan-tantangan tersebut menyebabkan lingkungan bisnis menjadi semakin dinamis dan akhirnya memicu keinginan dalam menemukan solusi terbaik demi memaksimalkan, mencapai efektifitas dan efisiensi kegiatan bisnis terutama pada aspek rantai pasokan, yang kemudian menjadi pemicu para akademisi dan praktisi untuk tidak berhenti melakukan riset dan pengembangan baik untuk menguji hal yang telah ada atau mengeksplorasi hal baru pada setiap isu yang berhubungan dengan MLRP.

Paper ini merangkum tren topik riset seputar MLRP dalam rentang tahun 2016 sampai dengan tahun 2019 yang telah dipublikasikan pada 11 jurnal bereputasi berdasarkan pemeringkatan ABS tahun 2018. Dimana terdapat 638 riset yang dikelompokkan berdasarkan topik atau tema besar pembahasan, dimana tema tersebut menjadi indikasi konteks yang paling sering dibahas seputar MLRP dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2019. Proyeksi penelitian beserta konteks-konteks yang menarik diangkat untuk riset di masa depan juga di paparkan dalam paper ini.

 

[Hubungi kami untuk mendapatkan bacaan selengkapnya]

 

pexels.com/Pixabay

Pandemic Tests Flex’s Supply Chain Resilience

MLRP Update Saturday, 21 November 2020

COVID-19 dan rantai pasokan.

Seperti yang kita semua tahu, guncangan yang dibawa oleh COVID-19 sangatlah parah untuk rantai pasokan dunia. Di tengah guncangan besar ini, “resilience” menjadi topik yang hangat didiskusikan, baik itu sebagai aspek penting yang ‘dilupakan’ banyak organisasi dunia ketika membangun strategi rantai pasokan mereka, maupun sebagai aspek penting dalam pengembangan strategi dan infrastruktur pemulihan rantai pasokan seluruh organisasi di dunia.

Nyatanya, membangun resilience atau ketahanan memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Tidak banyak organisasi yang mampu mengamankan jaringan pasokannya tanpa terguncang oleh COVID-19. Namun, Flex menjadi salah satu perusahaan elektronik dunia, yang memiliki 10.000 vendor produksi di China, yang mampu melakukannya. Di saat COVID-19 masih menjadi epidemi di China, Flex dengan sigap mengambil langkah-langkah preventif yang memperhitungkan kemungkinan dampak terburuk yang akan dialami jika COVID-19 menjadi pandemi dan menyebar ke seluruh dunia.

Flex dengan sigap melakukan pengadaan alat pelindung diri (APD), masker, dan keperluan sanitasi untuk pekerjanya, bahkan Flex telah menerapkan kebijakan jaga jarak (social distancing) sebelum kebijakan ini menjadi umum untuk diterapkan di seluruh dunia.

“Our first move was to ensure the safety of our employees.”

ujar Lynn Torrel, kepala rantai pasokan dan pengadaan Flex. Flex juga dengan lincah berusaha tetap terhubung dengan mitra-mitra kerja di seluruh dunia setiap waktu untuk memastikan jumlah permintaan dengan seksama.

“We worked as closely and compassionately as possible so they [partners] could get that information back to us, many couldn’t get back into their offices.”

lanjut Torrel. Hasilnya, Flex mampu mengamankan jalur pasokan, produksi, dan bisnisnya secara keseluruhan dengan baik di tengah guncangan COVID-19.

Pengalaman Flex yang siap dan sigap menghadapi kemungkinan terburuk yang dibawa oleh COVID-19 sejak awal menjadi bentuk ketahanan terbaik dari sistem dan struktur rantai pasokannya. Hal ini menegaskan bahwa ketahanan rantai pasokan tidaklah tumbuh ketika gangguan telah terjadi, namun ia ditanam, dipupuk, dan dirawat dengan keunggulan sistem, kompetensi pemegang keputusan, dan kesigapan mitra bisnis untuk terus berbagi informasi yang dibutuhkan setiap waktu.

Baca artikel lengkapnya sekarang! [EPSNews]

COVID-19 Makes Volatility the New Norm for Supply Chains

MLRP Update Thursday, 22 October 2020

Pernah mendengar model bisnis bernama continuous intelligent planning?

Model ini berkaitan dengan penggunaan data internal dan data eksternal untuk membentuk alur kerja yang terinformasi dengan baik. Ditambah lagi dengan memadukannya dalam platform yang menghadirkan artificial intelligence (AI), otomatisasi, dan teknologi baru lainnya seperti blockchain dan Internet-of-Things (IoT).

Diungkapkan Jonathan Wright, mitra pengelola dan pimpinan rekayasa ulang proses kognitif global di IBM Service, model bisnis ini sesuai untuk diterapkan di masa depan sebagai evolusi strategi dan perencanaan rantai pasokan menghadapi pandemi coronavirus disease (COVID-19). Wright menyoroti, bahwa akibat pandemi, volatility atau sifat mudah berubah akan menjadi norma baru pada sistem rantai pasokan masa depan. Sehingga, basis operasi di masa depan haruslah bertumpu pada informasi real-time yang cepat berubah, alih-alih data serial-historis.

Wright juga menjelaskan bagaimana COVID-19 mengekspos celah dan kerentanan rantai pasokan dunia dan kesempatan apa yang dapat dimanfaatkan untuk mengakselerasi perbaikan rantai pasokan masa depan. Informasi dan video dapat diakses selengkapnya di sini.

How Pandemics Forced Fashion Sellers to Re-Think Their Supply Chains

MLRP Update Monday, 12 October 2020

Pernahkah Anda mendengar istilah FOMO?

FOMO // Fear of Missing Out // Anxiety that an exciting or interesting event may currently be happening elsewhere, often aroused by posts seen on social media. [lexico]

Ya, FOMO merupakan perasaan cemas dan takut akan ketinggalan sesuatu yang baru. Sesuatu yang dimaksud dapat bermacam-macam, salah satunya tren fashion.

Sebelum pandemi melanda, dunia mode dipenuhi dengan konsumen berslogan “I want it now!”. Dipadukan dengan kecepatan internet dan kecanggihan media sosial saat ini, menjadi “yang terkini” sama artinya dengan bentuk “aktualisasi diri” bagi pecinta mode. Pada sisi lain, hal ini memicu timbulnya budaya FOMO pada dunia mode.

Budaya FOMO tidak hanya terbatas bagi konsumen, hal yang sama berlaku juga bagi produsen dan penyedia mode seperti toko dan merek mode. Di tengah persaingan mode yang ketat dan serba cepat, mereka terus berlomba untuk menjadi “yang terkini” dalam menciptakan dan menyediakan mode terbaru. Kemudian, seperti yang kita semua tahu, pandemi melanda dan menyulap dunia seperti dalam sekejab. Masyarakat berdiam di rumah, toko sepi, tidak ada konsumen berbelanja, tidak ada pesta, tidak ada festival, tidak ada pagelaran mode, bahkan tidak ada Fashion Week.

Lalu bagaimana dengan segala karya mode yang siap diluncurkan, ditampilkan, atau bahkan sudah tertata rapi di jendela toko? Bagaimana kebijakan pengadaan material dan produksi mode di tengah pandemi? Bagaimana dengan kemungkinan re-shoring operations yang sudah sejak lama menjadi usulan?

Yes, show must go on. Catherine Salaffino dari Sourcing Journal memaparkan analisisnya tentang bagaimana pandemi memaksa penjual karya mode merangkai ulang rantai pasokannya agar dapat bertahan atau bahkan melompat lebih tinggi di tengah pandemi ini. Baca selengkapnya di sini.

[Video] How to Measure Supply Chain Performance?

MLRP Update Tuesday, 15 September 2020

Mengapa kinerja rantai pasokan harus dinilai?

Bayangkan rantai pasokan sebagai rangkaian rantai sepeda yang saling berhubungan. Agar sepeda bergerak, rantai harus tetap terhubung dan bergerak bersama. Ketika satu rantai putus, satu rantai itu bisa terlepas dari seluruh rangkaian rantai yang sekarang menjadi tidak berguna. Sepeda tidak dapat berfungsi sampai rantai yang putus diperbaiki. Sepeda seperti sebuah perusahaan yang didukung oleh perusahaan-perusahaan lain dan membentuk rantai pasokan. Ketika satu perusahaan dalam rantai pasokan tidak berkinerja baik, hal itu akan mempengaruhi perusahaan lain, dan akhirnya seluruh operasi rantai pasokan. Dengan demikian, menjaga kinerja rantai pasokan merupakan hal yang penting. Pertanyaannya adalah bagaimana menilai kinerja rantai pasokan?

Ada 4 konsep yang biasa digunakan dalam menilai kinerja rantai pasokan, yaitu OTIF, QSDFC, Balanced Measures, dan Supply Chain Drivers. Simak penjelasan setiap konsepnya di video berikut!

Sumber: Luluk Lusiantoro (youtube.com)

”It only takes one missing part to stop a line,” – Mike Dunne, konsultan industri mobil Asia.

Kenormalan Baru Rantai Pasokan

MLRP Update Friday, 11 September 2020

Penemuan Kembali

Reinvention (penemuan kembali) menjadi hal yang ramai dibahas setelah pandemi COVID-19 melanda. Reinvention yang dimaksud adalah bahwa pandemi ini telah mengubah pola hidup masyarakat dunia, sehingga berbagai hal mulai dari bisnis hingga pemerintahan, termasuk rantai pasokan global, perlu mempersiapkan diri akan hal yang disebut ‘New Normal’. Dilansir Material Handling & Logistic (1/6/20), Jim Tompkins, ketua Tompkins International dan salah satu konsultan rantai pasokan terkemuka menyampaikan bahwa, setiap perusahaan perlu mengembangkan buku pedoman keberhasilan dan proses reinvention sebagai panduan selama masa pandemi. Proses reinvention membutuhkan level kepemimpinan tim rantai pasokan yang bahkan lebih tinggi dari dari pada sebelumnya. Merujuk pada istilah Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity (VUCA), masa pandemi saat ini telah membawa tingkat VUCA yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Amerika Serikat (AS) dan ekonomi global, dimana proses reinvention mengharuskan perusahaan untuk mengejar strategi berdasarkan VUCA 2.0 (Vision, Understanding, Courage and Adaptability) (Blanchard, 2020).

Digitalisasi

Isu terhangat selanjutnya adalah dalam hal teknologi digital dan kecerdasan buatan atau artificial inteligence (AI). Dilansir dari MHL News pada tanggal 4 Juni 2020, menurut Tinglong Dai, profesor asosiasi manajemen operasi dan analisis bisnis di Sekolah Bisnis Johns Hopkins Carey, supply chain resiliency sangat penting untuk menghadapi krisis, sementara para pemimpin sedang mengevaluasi bagaimana mengelola risiko ini ke depannya. Selain itu, alat yang penting untuk mengelola risiko terhadap dampak pandemi saat ini yaitu dengan meggunakan teknologi digital dan kecerdasan buatan artificial inteligence (AI) (MH&L, 2020). Oleh karena itu, dengan pengembangan alat dan solusi yang lebih baru dan inovatif, banyak proses manajemen rantai pasokan dapat diotomatisasi dan ditingkatkan dalam mengoptimalkan produksi (Smith, 2020).

Hal penting yang menjadi kunci dalam membangun resilient global supply chain yaitu, dengan mengenali bahwa rantai pasokan jaringan (network supply chain) merupakan pasar global dengan pembeli maupun pemasok dari seluruh dunia yang berinteraksi secara dinamis. Menurut direktur riset di ABI Research, Dimitris Mavrakis, pandemi COVID-19 dalam tiga bulan terakhir ini telah mencapai penggunaan digitalisasi. Digitalisasi yang cepat ini sangat mendorong untuk rantai pasokan global di industri apa pun. Adapun inti dari pasar global ini adalah fleksibilitas yang ditawarkan oleh rantai pasokan yang beragam (Baldock, 2020).

Geopolitik dan Teknologi

Dari sisi geopolitik dan inovasi teknologi, berdasarkan survei para ahli GeoTech Center dijelaskan bahwa, banyak negara khususnya pada rumah sakit mereka yang terdisrupsi karena bergantung pada China untuk mendapatkan pasokan, seperti adanya kekurangan yang signifikan pada alat tes dan alat pelindung diri (APD). Kemudian, pergeseran geopolitik tersebut mengarah pada isolasionisme dan pembatasan perdagangan. Hal ini tentunya akan memperburuk rantai pasokan. Maka dari itu, dengan memahami koneksi global, risiko, dan peluang, mengharuskan pembuat kebijakan untuk segera menggarap berbagai proyek percontohan untuk keberhasilan dalam memperluas gagasan global (Limbago & Scott, 2020). Dampak lain dari pandemi ini meyebabkan peningkatan biaya komponen pada perusahaan elektronik, karena banyak perusahaan yang sangat bergantung pada rantai pasokan global, sehingga tidak mampu untuk memenuhi pesanan pelanggan mereka (McCrea, 2020). Selain itu, pada distribusi obat-obatan antiretroviral, produsen menghadapi masalah logistik yang dapat mengindikasikan potensi disrupsi dalam beberapa bulan ke depan. Oleh karena itu setiap negara harus mengidentifikasi tingkat risiko untuk stok semua obat antiretroviral tersebut (UNAIDS, 2020).

[Hubungi kami untuk mendapatkan bacaan selengkapnya]

Restrukturisasi Rantai Pasokan: Menuju Ketahanan Rantai Pasokan

MLRP Update Friday, 11 September 2020

COVID-19: Desakan Restrukturisasi

Sejak ditetapkan sebagai darurat kesehatan global atau pandemi pada bulan Maret 2020, tindakan pencegahan, penanganan, dan penanggulangan transmisi coronavirus disease (COVID-19) tidak henti dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai level dan berbagai bidang. Krisis ini memberikan dampak yang beragam tidak hanya di bidang kesehatan, tetapi juga di berbagai bidang lainnya, tidak terkecuali bidang manajemen logistik dan rantai pasokan (MLRP). Memasuki bulan Mei 2020, di level global fokus pembahasan MLRP berkutat pada isu ‘bagaimana struktur rantai pasokan global akan berubah paska krisis ini, sekarang dan nanti’. 

Pandemi COVID-19 membawa struktur rantai pasokan global untuk berubah secara paksa. Tidak dipungkiri, keputusan karantina wilayah atau lockdown yang diambil Pemerintah Tiongkok merupakan pemicunya. Demi mencegah meluasnya transmisi COVID-19, pemerintah Tiongkok menetapkan keputusan lockdown dan pembatasan pergerakan maksimal secara nasional yang kemudian cepat memengaruhi dunia internasional. Hal ini berbuntut pada pembatasan dan penghentian kegiatan produksi termasuk pengiriman produk ke luar negeri. Keputusan ini tentu memberi efek kejut yang besar terhadap rantai pasokan banyak industri di dunia mengingat Tiongkok merupakan pusat rantai pasokan manufaktur global. Jepang dan Korea Selatan menjadi negara tetangga yang ‘terpaksa’ memutus aliran produksi dengan Tiongkok secara resmi (Olson, 2020). Langkah ini diambil karena keputusan pemerintah Tiongkok tersebut menghambat produksi dan menyebabkan kerugian besar bagi berbagai perusahaan di berbagai negara. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat juga mengeluarkan kebijakan yang secara tidak langsung ‘memaksa’ pemutusan jaringan rantai pasokan industri dengan Tiongkok dengan meningkatkan tarif atau bea perdagangan. Meskipun diwarnai isu politik hubungan antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang memang sudah memanas sejak akhir tahun lalu, Pemerintah Amerika Serikat mengklaim bahwa langkah ini diambil dengan alasan untuk memutus ketergantungan produksi dan rantai pasokan Amerika Serikat dari Tiongkok, di tengah terus meningkatnya jumlah kematian di Amerika Serikat akibat COVID-19 (Pamuk & Shalal, 2020). 

Tiongkok memegang peran kunci manufaktur global. Cordon & Buatois (2020) menyatakan bahwa produsen peralatan elektronik besar memperoleh sekitar 40% suku cadang mereka dari Tiongkok termasuk sub perakitan. Pada industri farmasi di Eropa, 80% komponen aktif untuk pasokan obatnya diimpor dari Tiongkok dan India. Keputusan banyak negara untuk memutus rantai pasokannya dari Tiongkok membuat banyak produsen di berbagai industri yang selama ini mengandalkan pasokan bahan baku maupun produk jadi dari Tiongkok harus memutar otak agar kegiatan bisnisnya tetap berjalan. Keputusan ini merupakan satu hal yang memicu perubahan struktur rantai pasokan dunia, utamanya pada aspek sourcing atau pengadaan logistik.

Jebakan Bernama Globalisasi

Uraian bagaimana mengejutkannya dampak COVID-19 pada rantai pasokan global cukup menjadi dasar untuk mengatakan bahwa serangan COVID-19 ini berhasil mengungkapkan kelemahan sistem manufaktur global dengan paksa. Bahwa kenyataannya rantai ini hanya sekuat titik terlemahnya, yaitu pada istilah ‘global’ itu sendiri. Maka untuk meresponnya, struktur dan perilaku “bergantung” di dalam rantai pasokan global harus benar-benar dipikir ulang.

Pandemi COVID-19 menyingkap fakta yang cukup mengejutkan bahwa banyak perusahaan beroperasi dengan pondasi atau struktur bisnis yang tidak cukup kuat untuk menyerap gangguan besar dan realisasi ini menuntut perubahan. Mengambil pelajaran dari krisis akibat pandemi COVID-19 ini, perubahan struktur pada aktivitas perdagangan global pasca-COVID-19 diprediksi akan menjadi lebih tidak bergantung pada pihak lain, dalam hal ini adalah negara lain. Hal ini salah satunya diwujudkan dalam kebijakan yang mendorong lebih banyak produksi dalam negeri yang mulai diterapkan baik di negara maju atau berkembang (Olson, 2020). Contohnya Vietnam telah melarang ekspor beras dan India telah membatasi ekspor obat antimalaria.

Cordon & Buatois (2020) menggunakan istilah ‘From globalization to regionalization’ untuk menggambarkan bagaimana transformasi rantai pasokan global akan terjadi pasca krisis akibat COVID-19. Saluran-saluran logistik di tingkat regional akan digalakkan kembali untuk menghilangkan ketergantungan akan sumber tunggal, membangun rantai pasokan yang fleksibel, dan utamanya mudah beradaptasi ketika krisis tiba-tiba terjadi. Frikkee (2020) menambahkan bahwa beberapa perusahaan telah memindahkan rantai pasokan dari Tiongkok ke bagian lain di Asia. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk bergerak lebih dekat ke pelanggan utama dengan menambahkan rantai pasokan lokal atau regional, sehingga menciptakan bisnis yang kurang terkonsentrasi dan lebih seimbang. Ketika sebuah jaringan rantai pasokan memiliki kemampuan untuk mendapatkan produk secara lokal, berarti waktu tenggang akan menjadi lebih pendek dan risiko akan menjadi lebih rendah, meskipun hal ini seringkali berarti biaya yang lebih tinggi. Namun dengan pengelolaan yang baik hal ini bisa diatasi, misalnya dengan membebankan biaya ini kepada pelanggan untuk beberapa produk tertentu.

[Hubungi kami untuk mendapatkan bacaan selengkapnya]

12

Postingan Terbaru

  • OPSID X MLRP: Predicting circular economy practices of Small-Medium Enterprises (SMEs) in Indonesia: the role of supply chain finance and business survivability
  • BK MLRP X Ekonomi Sirkular ID: Peran Sonjo Dalam Darurat Sampah Jogja
  • Kondisi Logistik Indonesia 2023: Tantangan yang Dihadapi dan Upaya Peningkatan
  • Ketahanan dan Integrasi Rantai Pasok: Konsolidasi Jasa Pengiriman dan Logistik FedEx
  • Bagaimana ChatGPT Meningkatkan Efisiensi Rantai Pasok di Masa Depan?
Universitas Gadjah Mada

Gedung Pertamina Tower Lt. 4, Jl. Sosio Humaniora No. 1, Bulaksumur

(0274) 548510

mlrp.feb@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY