• Tentang UGM
  • Tentang FEB UGM
  • Logistics Performance Index
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Gambaran Singkat
    • Misi Bidang Kajian MLRP
    • Visi Bidang Kajian MLRP
    • Arah Riset dan Kajian
  • Program dan Kegiatan
    • MLRP Research Club
    • MLRP DataBase
    • MLRP Update
    • MLRP Quarterly
    • MLRP Thesis of The Year
    • MLRP Research
  • Kontak
  • Hubungi Kami
  • Beranda
  • MLRP Update
  • hal. 4
Arsip:

MLRP Update

COVID-19 Makes Volatility the New Norm for Supply Chains

MLRP Update Thursday, 22 October 2020

Pernah mendengar model bisnis bernama continuous intelligent planning?

Model ini berkaitan dengan penggunaan data internal dan data eksternal untuk membentuk alur kerja yang terinformasi dengan baik. Ditambah lagi dengan memadukannya dalam platform yang menghadirkan artificial intelligence (AI), otomatisasi, dan teknologi baru lainnya seperti blockchain dan Internet-of-Things (IoT).

Diungkapkan Jonathan Wright, mitra pengelola dan pimpinan rekayasa ulang proses kognitif global di IBM Service, model bisnis ini sesuai untuk diterapkan di masa depan sebagai evolusi strategi dan perencanaan rantai pasokan menghadapi pandemi coronavirus disease (COVID-19). Wright menyoroti, bahwa akibat pandemi, volatility atau sifat mudah berubah akan menjadi norma baru pada sistem rantai pasokan masa depan. Sehingga, basis operasi di masa depan haruslah bertumpu pada informasi real-time yang cepat berubah, alih-alih data serial-historis.

Wright juga menjelaskan bagaimana COVID-19 mengekspos celah dan kerentanan rantai pasokan dunia dan kesempatan apa yang dapat dimanfaatkan untuk mengakselerasi perbaikan rantai pasokan masa depan. Informasi dan video dapat diakses selengkapnya di sini.

[Video] Humanitarian Logistics and Supply Chain Management

MLRP Update Tuesday, 20 October 2020

Bagaimana rantai pasokan berperan dalam menuntaskan bencana kemanusiaan?

Masalah akibat pandemi yang terjadi saat ini merupakan disrupsi yang luar biasa dan tidak terduga sebelumya, sehingga bisa dianggap sebagai salah satu bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Hal ini telah memengaruhi banyak aspek kehidupan manusia, termasuk rantai pasokan itu sendiri, serta logistik dan rantai pasokan kemanusiaan atau humanitarian logistics and supply chain management (HLSCM). Begitulah gambaran besar terkait masalah yang manusia hadapi saat ini, yaitu pandemi coronavirus disease (COVID-19).

Tetapi tidak berhenti di situ, umat manusia juga masih perlu memikirkan bencana lain yang juga sangat mengancam kehidupan, baik itu bencana alam maupun bencana buatan manusia. Selain pandemi COVID-19, beberapa saat terakhir ini kita sering dikejutkan akan terjadinya bencana seperti ledakan di Beirut yang menyebabkan ratusan orang tewas dan ribuan orang terluka, kasus kebakaran hutan Amazon, lalu kebakaran di perkemahan Moria di Yunani, hingga banjir yang terjadi di Indonesia. Di sisi lain, Indonesia termasuk bagian dari ring of fire, sehingga sewaktu-waktu erupsi gunung vulkanik dapat terjadi. Oleh karena itu, dibutuhkan antisipasi dalam menghadapi hal tersebut dan tentu saja hal ini menambah kompleksitas lain pada logistik dan rantai pasokan kemanusiaan.

Mengambil contoh krisis akibat pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini, semua orang berjuang menghadapi kondisi tidak menguntungkan yang terjadi dan berupaya untuk mendapatkan bantuan dari beberapa saluran yang ada. Kemudian di lain pihak, ada pihak-pihak atau stakeholder terkait yang mencoba untuk membantu mereka, tetapi disaat yang bersamaan mereka juga merupakan pihak-pihak yang berusaha menghindar dari kemungkinan terinfeksi virus COVID-19. Begitulah kiranya kompleksitas operasi HLSCM dan operasi yang kompleks ini lah salah satu solusi dalam menuntaskan berbagai masalah yang terjadi akibat bencana kemanusiaan.

Selain pembahasan umum HLSCM, akan dibahas juga hal-hal terkait konsep ketahanan rantai pasokan atau general supply chain resilience (SCRES), HLSCM dalam konteks pandemi COVID-19 di Yogyakarta, rantai pasokan yang layak atau viable supply chains (VSCs) dan ketahanan rantai pasokan yang dibangun dari organisasi mandiri atau self-organisation towards SCRES. Simak penjelasan selengkapnya di video berikut!

Sumber:Pusat Kajian MLRP FEB UGM (youtube.com)

“Humanitarian Logistics is about mobilization and movement of resources for disaster preparedness, disaster response, and disaster recovery”
― Victor Manan Nyambala

How Pandemics Forced Fashion Sellers to Re-Think Their Supply Chains

MLRP Update Monday, 12 October 2020

Pernahkah Anda mendengar istilah FOMO?

FOMO // Fear of Missing Out // Anxiety that an exciting or interesting event may currently be happening elsewhere, often aroused by posts seen on social media. [lexico]

Ya, FOMO merupakan perasaan cemas dan takut akan ketinggalan sesuatu yang baru. Sesuatu yang dimaksud dapat bermacam-macam, salah satunya tren fashion.

Sebelum pandemi melanda, dunia mode dipenuhi dengan konsumen berslogan “I want it now!”. Dipadukan dengan kecepatan internet dan kecanggihan media sosial saat ini, menjadi “yang terkini” sama artinya dengan bentuk “aktualisasi diri” bagi pecinta mode. Pada sisi lain, hal ini memicu timbulnya budaya FOMO pada dunia mode.

Budaya FOMO tidak hanya terbatas bagi konsumen, hal yang sama berlaku juga bagi produsen dan penyedia mode seperti toko dan merek mode. Di tengah persaingan mode yang ketat dan serba cepat, mereka terus berlomba untuk menjadi “yang terkini” dalam menciptakan dan menyediakan mode terbaru. Kemudian, seperti yang kita semua tahu, pandemi melanda dan menyulap dunia seperti dalam sekejab. Masyarakat berdiam di rumah, toko sepi, tidak ada konsumen berbelanja, tidak ada pesta, tidak ada festival, tidak ada pagelaran mode, bahkan tidak ada Fashion Week.

Lalu bagaimana dengan segala karya mode yang siap diluncurkan, ditampilkan, atau bahkan sudah tertata rapi di jendela toko? Bagaimana kebijakan pengadaan material dan produksi mode di tengah pandemi? Bagaimana dengan kemungkinan re-shoring operations yang sudah sejak lama menjadi usulan?

Yes, show must go on. Catherine Salaffino dari Sourcing Journal memaparkan analisisnya tentang bagaimana pandemi memaksa penjual karya mode merangkai ulang rantai pasokannya agar dapat bertahan atau bahkan melompat lebih tinggi di tengah pandemi ini. Baca selengkapnya di sini.

[Video] How to Measure Supply Chain Performance?

MLRP Update Tuesday, 15 September 2020

Mengapa kinerja rantai pasokan harus dinilai?

Bayangkan rantai pasokan sebagai rangkaian rantai sepeda yang saling berhubungan. Agar sepeda bergerak, rantai harus tetap terhubung dan bergerak bersama. Ketika satu rantai putus, satu rantai itu bisa terlepas dari seluruh rangkaian rantai yang sekarang menjadi tidak berguna. Sepeda tidak dapat berfungsi sampai rantai yang putus diperbaiki. Sepeda seperti sebuah perusahaan yang didukung oleh perusahaan-perusahaan lain dan membentuk rantai pasokan. Ketika satu perusahaan dalam rantai pasokan tidak berkinerja baik, hal itu akan mempengaruhi perusahaan lain, dan akhirnya seluruh operasi rantai pasokan. Dengan demikian, menjaga kinerja rantai pasokan merupakan hal yang penting. Pertanyaannya adalah bagaimana menilai kinerja rantai pasokan?

Ada 4 konsep yang biasa digunakan dalam menilai kinerja rantai pasokan, yaitu OTIF, QSDFC, Balanced Measures, dan Supply Chain Drivers. Simak penjelasan setiap konsepnya di video berikut!

Sumber: Luluk Lusiantoro (youtube.com)

”It only takes one missing part to stop a line,” – Mike Dunne, konsultan industri mobil Asia.

Kenormalan Baru Rantai Pasokan

MLRP Update Friday, 11 September 2020

Penemuan Kembali

Reinvention (penemuan kembali) menjadi hal yang ramai dibahas setelah pandemi COVID-19 melanda. Reinvention yang dimaksud adalah bahwa pandemi ini telah mengubah pola hidup masyarakat dunia, sehingga berbagai hal mulai dari bisnis hingga pemerintahan, termasuk rantai pasokan global, perlu mempersiapkan diri akan hal yang disebut ‘New Normal’. Dilansir Material Handling & Logistic (1/6/20), Jim Tompkins, ketua Tompkins International dan salah satu konsultan rantai pasokan terkemuka menyampaikan bahwa, setiap perusahaan perlu mengembangkan buku pedoman keberhasilan dan proses reinvention sebagai panduan selama masa pandemi. Proses reinvention membutuhkan level kepemimpinan tim rantai pasokan yang bahkan lebih tinggi dari dari pada sebelumnya. Merujuk pada istilah Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity (VUCA), masa pandemi saat ini telah membawa tingkat VUCA yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Amerika Serikat (AS) dan ekonomi global, dimana proses reinvention mengharuskan perusahaan untuk mengejar strategi berdasarkan VUCA 2.0 (Vision, Understanding, Courage and Adaptability) (Blanchard, 2020).

Digitalisasi

Isu terhangat selanjutnya adalah dalam hal teknologi digital dan kecerdasan buatan atau artificial inteligence (AI). Dilansir dari MHL News pada tanggal 4 Juni 2020, menurut Tinglong Dai, profesor asosiasi manajemen operasi dan analisis bisnis di Sekolah Bisnis Johns Hopkins Carey, supply chain resiliency sangat penting untuk menghadapi krisis, sementara para pemimpin sedang mengevaluasi bagaimana mengelola risiko ini ke depannya. Selain itu, alat yang penting untuk mengelola risiko terhadap dampak pandemi saat ini yaitu dengan meggunakan teknologi digital dan kecerdasan buatan artificial inteligence (AI) (MH&L, 2020). Oleh karena itu, dengan pengembangan alat dan solusi yang lebih baru dan inovatif, banyak proses manajemen rantai pasokan dapat diotomatisasi dan ditingkatkan dalam mengoptimalkan produksi (Smith, 2020).

Hal penting yang menjadi kunci dalam membangun resilient global supply chain yaitu, dengan mengenali bahwa rantai pasokan jaringan (network supply chain) merupakan pasar global dengan pembeli maupun pemasok dari seluruh dunia yang berinteraksi secara dinamis. Menurut direktur riset di ABI Research, Dimitris Mavrakis, pandemi COVID-19 dalam tiga bulan terakhir ini telah mencapai penggunaan digitalisasi. Digitalisasi yang cepat ini sangat mendorong untuk rantai pasokan global di industri apa pun. Adapun inti dari pasar global ini adalah fleksibilitas yang ditawarkan oleh rantai pasokan yang beragam (Baldock, 2020).

Geopolitik dan Teknologi

Dari sisi geopolitik dan inovasi teknologi, berdasarkan survei para ahli GeoTech Center dijelaskan bahwa, banyak negara khususnya pada rumah sakit mereka yang terdisrupsi karena bergantung pada China untuk mendapatkan pasokan, seperti adanya kekurangan yang signifikan pada alat tes dan alat pelindung diri (APD). Kemudian, pergeseran geopolitik tersebut mengarah pada isolasionisme dan pembatasan perdagangan. Hal ini tentunya akan memperburuk rantai pasokan. Maka dari itu, dengan memahami koneksi global, risiko, dan peluang, mengharuskan pembuat kebijakan untuk segera menggarap berbagai proyek percontohan untuk keberhasilan dalam memperluas gagasan global (Limbago & Scott, 2020). Dampak lain dari pandemi ini meyebabkan peningkatan biaya komponen pada perusahaan elektronik, karena banyak perusahaan yang sangat bergantung pada rantai pasokan global, sehingga tidak mampu untuk memenuhi pesanan pelanggan mereka (McCrea, 2020). Selain itu, pada distribusi obat-obatan antiretroviral, produsen menghadapi masalah logistik yang dapat mengindikasikan potensi disrupsi dalam beberapa bulan ke depan. Oleh karena itu setiap negara harus mengidentifikasi tingkat risiko untuk stok semua obat antiretroviral tersebut (UNAIDS, 2020).

[Hubungi kami untuk mendapatkan bacaan selengkapnya]

Restrukturisasi Rantai Pasokan: Menuju Ketahanan Rantai Pasokan

MLRP Update Friday, 11 September 2020

COVID-19: Desakan Restrukturisasi

Sejak ditetapkan sebagai darurat kesehatan global atau pandemi pada bulan Maret 2020, tindakan pencegahan, penanganan, dan penanggulangan transmisi coronavirus disease (COVID-19) tidak henti dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai level dan berbagai bidang. Krisis ini memberikan dampak yang beragam tidak hanya di bidang kesehatan, tetapi juga di berbagai bidang lainnya, tidak terkecuali bidang manajemen logistik dan rantai pasokan (MLRP). Memasuki bulan Mei 2020, di level global fokus pembahasan MLRP berkutat pada isu ‘bagaimana struktur rantai pasokan global akan berubah paska krisis ini, sekarang dan nanti’. 

Pandemi COVID-19 membawa struktur rantai pasokan global untuk berubah secara paksa. Tidak dipungkiri, keputusan karantina wilayah atau lockdown yang diambil Pemerintah Tiongkok merupakan pemicunya. Demi mencegah meluasnya transmisi COVID-19, pemerintah Tiongkok menetapkan keputusan lockdown dan pembatasan pergerakan maksimal secara nasional yang kemudian cepat memengaruhi dunia internasional. Hal ini berbuntut pada pembatasan dan penghentian kegiatan produksi termasuk pengiriman produk ke luar negeri. Keputusan ini tentu memberi efek kejut yang besar terhadap rantai pasokan banyak industri di dunia mengingat Tiongkok merupakan pusat rantai pasokan manufaktur global. Jepang dan Korea Selatan menjadi negara tetangga yang ‘terpaksa’ memutus aliran produksi dengan Tiongkok secara resmi (Olson, 2020). Langkah ini diambil karena keputusan pemerintah Tiongkok tersebut menghambat produksi dan menyebabkan kerugian besar bagi berbagai perusahaan di berbagai negara. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat juga mengeluarkan kebijakan yang secara tidak langsung ‘memaksa’ pemutusan jaringan rantai pasokan industri dengan Tiongkok dengan meningkatkan tarif atau bea perdagangan. Meskipun diwarnai isu politik hubungan antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang memang sudah memanas sejak akhir tahun lalu, Pemerintah Amerika Serikat mengklaim bahwa langkah ini diambil dengan alasan untuk memutus ketergantungan produksi dan rantai pasokan Amerika Serikat dari Tiongkok, di tengah terus meningkatnya jumlah kematian di Amerika Serikat akibat COVID-19 (Pamuk & Shalal, 2020). 

Tiongkok memegang peran kunci manufaktur global. Cordon & Buatois (2020) menyatakan bahwa produsen peralatan elektronik besar memperoleh sekitar 40% suku cadang mereka dari Tiongkok termasuk sub perakitan. Pada industri farmasi di Eropa, 80% komponen aktif untuk pasokan obatnya diimpor dari Tiongkok dan India. Keputusan banyak negara untuk memutus rantai pasokannya dari Tiongkok membuat banyak produsen di berbagai industri yang selama ini mengandalkan pasokan bahan baku maupun produk jadi dari Tiongkok harus memutar otak agar kegiatan bisnisnya tetap berjalan. Keputusan ini merupakan satu hal yang memicu perubahan struktur rantai pasokan dunia, utamanya pada aspek sourcing atau pengadaan logistik.

Jebakan Bernama Globalisasi

Uraian bagaimana mengejutkannya dampak COVID-19 pada rantai pasokan global cukup menjadi dasar untuk mengatakan bahwa serangan COVID-19 ini berhasil mengungkapkan kelemahan sistem manufaktur global dengan paksa. Bahwa kenyataannya rantai ini hanya sekuat titik terlemahnya, yaitu pada istilah ‘global’ itu sendiri. Maka untuk meresponnya, struktur dan perilaku “bergantung” di dalam rantai pasokan global harus benar-benar dipikir ulang.

Pandemi COVID-19 menyingkap fakta yang cukup mengejutkan bahwa banyak perusahaan beroperasi dengan pondasi atau struktur bisnis yang tidak cukup kuat untuk menyerap gangguan besar dan realisasi ini menuntut perubahan. Mengambil pelajaran dari krisis akibat pandemi COVID-19 ini, perubahan struktur pada aktivitas perdagangan global pasca-COVID-19 diprediksi akan menjadi lebih tidak bergantung pada pihak lain, dalam hal ini adalah negara lain. Hal ini salah satunya diwujudkan dalam kebijakan yang mendorong lebih banyak produksi dalam negeri yang mulai diterapkan baik di negara maju atau berkembang (Olson, 2020). Contohnya Vietnam telah melarang ekspor beras dan India telah membatasi ekspor obat antimalaria.

Cordon & Buatois (2020) menggunakan istilah ‘From globalization to regionalization’ untuk menggambarkan bagaimana transformasi rantai pasokan global akan terjadi pasca krisis akibat COVID-19. Saluran-saluran logistik di tingkat regional akan digalakkan kembali untuk menghilangkan ketergantungan akan sumber tunggal, membangun rantai pasokan yang fleksibel, dan utamanya mudah beradaptasi ketika krisis tiba-tiba terjadi. Frikkee (2020) menambahkan bahwa beberapa perusahaan telah memindahkan rantai pasokan dari Tiongkok ke bagian lain di Asia. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk bergerak lebih dekat ke pelanggan utama dengan menambahkan rantai pasokan lokal atau regional, sehingga menciptakan bisnis yang kurang terkonsentrasi dan lebih seimbang. Ketika sebuah jaringan rantai pasokan memiliki kemampuan untuk mendapatkan produk secara lokal, berarti waktu tenggang akan menjadi lebih pendek dan risiko akan menjadi lebih rendah, meskipun hal ini seringkali berarti biaya yang lebih tinggi. Namun dengan pengelolaan yang baik hal ini bisa diatasi, misalnya dengan membebankan biaya ini kepada pelanggan untuk beberapa produk tertentu.

[Hubungi kami untuk mendapatkan bacaan selengkapnya]

Aktivitas Rantai Pasokan: Mulai Beradaptasi

MLRP Update Friday, 11 September 2020

Situasi Baru

Tanggal 2 April 2020, beberapa perusahaan di berbagai negara mulai menyatakan akan membangun kembali rantai pasokan mereka yang sempat terganggu akibat pandemi yang terjadi, hal ini ditandai dengan banyaknya perusahaan di seluruh dunia mulai mengumumkan kembali mengenai aktivitas produksinya. Sedikit berlawanan dengan yang terjadi di Indonesia dimana pandemi yang terjadi baru saja akan dimulai. Sejak Pemerintah Indonesia mengonfirmasi bahwa terdapat dua kasus Virus Corona (COVID-19) pada tanggal 2 Maret 2020 lalu, penyebaran Virus Corona terus meningkat menjadi sebanyak 1.677 kasus infeksi per Kamis, 2 April 2020. Dalam sejumlah kasus tesebut, 157 pasien meninggal dunia dan 103 pasien telah dinyatakan sembuh (http://worldometers.info).

Pada bulan ini khususnya, beberapa strategi dan kebijakan preventif terus dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meminimalkan risiko penyebaran Virus Corona, diantaranya yang paling umum ialah mengenai kebijakan social distancing, WFH (Work from Home) serta belajar dari rumah yang telah diberlakukan sejak tanggal 16 Maret 2020 lalu. Keputusan ini juga mengikuti panduan dari berbagai badan termasuk WHO dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) yang telah mengeluarkan saran untuk mencegah penyebaran COVID-19 lebih lanjut. Selain itu, mereka merekomendasikan untuk menghindari bepergian ke daerah-daerah berisiko tinggi, kontak dengan orang-orang yang memiliki gejala, dan konsumsi daging dari daerah dengan wabah COVID-19 yang terkonfirmasi. Langkah-langkah kebersihan tangan dasar juga dianjurkan, termasuk sering mencuci tangan dan penggunaan APD seperti masker wajah (Sohrabi et al., 2020).

Menurut World Bank East Asia and Pacific Economic dalam laporannya bahwa negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik, yang tengah berjuang meghadapi ketegangan perdagangan internasional (trade tension) dan COVID-19, sekarang dihadapkan pada guncangan ekonomi global ketika pandemi melanda ekonomi-ekonomi utama di dunia, sehingga dalam laporan tersebut juga merekomendasikan beberapa kebijakan untuk negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik.

Pada tanggal 3 April 2020, menurut Safitri dalam tulisannya yang dimuat pada supplychainindonesia.com, menyatakan bahwa hal mendasar yang perlu dilakukan adalah membuat aturan terkait mekanisme operasional dari layanan, meliputi: jam kerja pegawai, pendefinisian peran akses, serta kebijakan keamanan informasi, serta melatih pekerja untuk menjalankan aturan formal yang ditetapkan. Selain itu, identifikasi fungsi esensial maupun pemasok yang menunjang proses bisnis atau layanan tersebut. Identifikasi ini dilakukan dengan monitoring keamanan terhadap fungsi esensial serta memastikan bahwa kelangsungan rantai pasok terhadap fungsi esensial tersebut dapat berjalan, melakukan penilaian secara berkelanjutan mengenai kesiapan layanan dalam menghadapi perubahan proses bisnis serta dampak dari perubahan lingkungan, merancang skenario kerja bagi pekerja secara remote, serta pembuatan skenario kerja.

perlu dilakukan untuk memilah dan mengantisipasi kondisi terburuk jika diberlakukannya lockdown, serta selalu memantau mengenai setiap kebijakan, baik itu dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terhadap upaya penanganan COVID-19, sehingga perusahaan dapat melakukan adaptasi dan langkah antisipatif terhadap proses bisnis secara cepat dan tepat.

Menurut Badan Siber dan Sandi Negara (2020), dijelaskan mengenai tahapan selanjutnya setelah melakukan identifikasi dan persiapan pada proses operasional perusahaan untuk meminimalisasi dampak Virus Corona, yaitu memastikan ketersediaan dukungan keberlangsungan proses bisnis atau layanan yang berkaitan dengan ketersediaan dukungan dari pemasok. Langkah tersebut di antaranya adalah:

  1. Melakukan penilaian mengenai rantai pasokan yang berkaitan dengan proses bisnis atau layanan organisasi yang berkaitan dengan kemungkinan dampak dan gangguan akibat keterlambatan pengiriman pasokan atau logistik, serta keterlambatan proses manufaktur akibat pandemi global Virus Corona.
  2. Melakukan komunikasi dengan pihak penyedia atau pemasok yang digunakan oleh suatu perusahaan atau organisasi yang mungkin dihadapi dalam kondisi terburuk akibat pandemi Virus Corona.
  3. Melakukan identifikasi potensi penyedia atau pemasok lain yang dapat mendukung proses operasional bisnis dan layanan perusahaan ketika terjadi gangguan.
  4. Melakukan komunikasi kepada pengguna atau konsumen mengenai keterbatasan yang dihadapi oleh perusahaan/organisasi serta menyampaikan langkah mitigasi yang akan dilakukan oleh perusahaan/organisasi tersebut (Safitri, 2020).

Tanggal 6 April 2020, menurut keterangan persnya, Achmad Ridwan Tantowi selaku Sekretaris Jenderal Indonesian Maritime, Transportation and Logistics Watch (Imlow) mengatakan “Dampak Covid-19, usaha angkutan barang maupun logistik, termasuk usaha pendukungnya seperti lahan yang digunakan sebagai lapangan/gudang yang terkait dalam kegiatan logistik serta untuk pool kendaraan angkutan barang, juga agar diberikan keringanan atau relaksasi hingga 75% terhadap kewajiban pembayaran Pajak Bumi Bangunan (PBB)-nya,”. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan menurut beliau, pemberian stimulus untuk kegiatan angkutan barang dan logistik mesti mencakup semua aspek aktivitas lainnya karena kegiatan tersebut saling terhubung satu sama lain. Maka dari itu, dibutuhkan keberpihakan pemerintah guna memberikan stimulus usaha tersebut agar tetap bisa berjalan.

[Hubungi kami untuk mendapatkan bacaan selengkapnya]

Isu Awal Pandemi COVID-19: Pembelian ‘Panik’ dan Kekurangan Bahan Baku

MLRP Update Friday, 11 September 2020

COVID-19 dan Indonesia: Dan Kisahnya Dimulai

Seluruh masyarakat dunia tengah memerangi pandemi COVID-19. Virus ini muncul pertama kali di China mulai dari akhir tahun 2019, dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Dampak pandemi COVID-19 tidak hanya dirasakan pada sektor kesehatan, tetapi juga dirasakan pada sektor ekonomi. Apabila tidak ada tindakan pencegahan segera, maka akan berdampak pada sosial-ekonomi yang sangat luas. Misalnya, dalam hal perdagangan, pariwisata, pasar saham, rantai pasokan dan semua aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Disrupsi yang dihadapi pada rantai pasokan secara signifikan, misalnya perusahaan-perusahaan barat menghadapi kehabisan stok dan kekurangan bahan baku penting. Sistem pangan yang terus berubah dan relatif bergantung pada berbagai pelaku dalam satu sistem otomatis berubah.

Berbeda dengan SARS yang awalnya ditutupi, COVID-19 penangannya lebih cepat (O’Byrne, 2020). Hal ini dibuktikan dengan beberapa negara terdampak segera melakukan penguncian atau lockdown untuk meminimalkan penyebaran COVID-19. Diawali oleh China, melakukan lockdown pada tanggal 23 Januari 2020, disusul oleh Italia, Denmark, Polandia, Spanyol, Belanda, dan Prancis pada tanggal 16 Maret 2020 (WHO, 2020). Khususnya, sebagian besar pabrik di China melakukan lockdown untuk menahan semakin luasnya penyebaran virus ini.

Pada konteks internasional, terjadi kekurangan bahan baku besar-besaran akibat rantai pasokan yang terganggu. Sebagai contoh, Food and Drug Administration melaporkan bahwa pertama kali mengalami kekurangan pada salah satu obat mereka, terjadi juga pada kurang lebih 63 produsen di China yang memasok perangkat medis (Warzel, 2020). Lebih jauh di Afrika Timur, terdapat empat kapal China belum mendarat di Pelabuhan Mombasa pada bulan Januari dan Februari 2020. Hal ini mengakibatkan sebanyak delapan pengiriman gagal di awal bulan Maret 2020 dan mengganggu rantai pasokan (Anyanzwa dan Olingo, 2020). Sama halnya di Asia Tenggara, produsen mengalami disrupsi besar karena penyebaran COVID-19. Sebagai contoh, lebih dari 1.000 pekerja di-PHK dari pabrik garmen di Myanmar. Pabrik garmen ini ditutup karena kekurangan bahan baku yang berasal dari China (Chua, 2020). Beberapa contoh tersebut menunjukkan bahwa pembatasan pergerakan atau lockdown di China memengaruhi rantai pasokan global. Berikut hasil pencarian berita dengan kata kunci ”coronavirus supply chain” dengan rentang waktu tanggal 1 sampai 31 Maret 2020.

Pembelian ‘Panik’: Awal Maret 2020

Pada awal bulan Maret, terjadi panjangnya antrian, rendahnya persediaan, lamanya waktu tunggu, dan berbagai kekacauan lainnya terjadi di hampir seluruh negara. Pertama, peralatan atau barang yang dicari stoknya sedikit, seperti makanan yang tidak mudah busuk, disinfektan, air mineral botolan dan kertas toilet, hand sanitizer, dan lain-lain. Contohnya di Amerika Serikat, supermarket “diserang” konsumen yang panic buying membeli hingga delapan galon air mineral, dan 20 jenis sayuran (Telford dan Bhattarai, 2020). Dalam hal ini, poin kepercayaan menjadi relevan untuk memastikan kepercayaan publik terhadap penyedia barang dan makanan. Jika ada kurangnya kepercayaan publik terhadap sistem pangan, maka yang terjadi adalah kecemasan. Kecemasan di sekitar pasokan makanan menciptakan badai yang sempurna dan mengakibatkan panic buying tersebut (Telford dan Bhattarai, 2020). Kedua, pandemi Covid-19 juga menghantam ekonomi Jerman sehingga membahayakan rantai pasokan. Pengiriman lewat laut dari China sampai memakan waktu hingga enam minggu (Nienaber, 2020). Ketiga, Amazon melaporkan bahwa mereka mengalami keterlambatan pengiriman dan kehabisan stok pada beberapa produk yang sangat diminati (Amazon, 2020). Hal ini terjadi karena tingginya permintaan yang tidak diimbangi dengan jumlah tenaga kerja. Dapat disimpulkan bahwa awal bulan Maret 2020 menjadi awal era disrupsi pada rantai pasokan, karena perusahaan banyak kekurangan bahan pangan sekaligus bahan medis dimana-mana.

[Hubungi kami untuk mendapatkan bacaan selengkapnya]

Wabah Virus Corona: Dalam Darurat Global

MLRP Update Friday, 11 September 2020

Darurat Global

Pada 31 Januari 2020, WHO secara resmi menyatakan bahwa wabah COVID-19 adalah “darurat kesehatan global” (BBC News, 2020). Pada awal Februari, wabah ini mulai mempengaruhi ekonomi dan politik dunia, karena dipicu oleh keputusan pemerintah China untuk memberlakukan keputusan karantina wilayah atau lockdown, termasuk pembatasan kegiatan ekspor dan impor, sehingga dampak dari keputusan ini mempengaruhi kinerja rantai pasokan global dimana banyak negara termasuk Amerika Serikat (AS) yang menggantungkan rantai pasokannya pada perusahaan-perusahaan di China. Oleh karenanya, kondisi ini memperparah ketegangan perdagangan yang sudah terjadi sebelumnya antara AS dan China (Kempe, 2020).

Dilansir dari OODA Analyst pada tanggal 3 Februari 2020, Virus yang telah menginfeksi lebih dari 14.500 orang pada Bulan Februari ini mengganggu perdagangan dan rantai pasokan di seluruh dunia, sehingga memaksa harga aset menurun, dan berdampak pada bisnis multinasional. Pemerintah AS maupun negara lainnya di Eropa dan Asia telah memberlakukan peraturan yang menutup akses kunjungan dari China, terutama mereka yang sebelumnya telah mengunjungi kota Wuhan atau kota-kota lainnya di provinsi Hubei. Selain itu, banyak perusahaan maskapai penerbangan juga telah menghentikan sementara penerbangannya dari dan ke negara tersebut (OODA Loop, 2020).

Pengiriman Logistik

Informasi yang dilansir dari National Retail Federation pada tanggal 11 Februari 2020, menyampaikan bahwa, pelabuhan-pelabuhan utama di AS mengalami penurunan pada aktifitas impor retail peti kemas hampir 13% yaitu sekitar 1,41 juta TEU (twenty foot equivalent unit). Hal ini dikarenakan perpanjangan penghentian produksi yang disebabkan oleh wabah COVID-19 di China, sehingga mengurangi permintaan bagi perusahaan kesehatan AS yang menjual produk di sana (Forde, 2020). Dari sektor lain seperti pengiriman gas alam ke China pun juga terganggu, dimana China merupakan konsumen LNG (liquefied natural gas) terbesar di dunia saat ini, sementara China menerapkan kebijakan menutup pasar LNG karena untuk isolasi wabah COVID-19, sehingga kontrak LNG yang sedang berjalan menjadi terganggu dan harga LNG mengalamai penurunan. Oleh karena itu, AS cukup kerepotan, dimana hasil shale gas yang hendak dijual ke China yang beberapa tanker sudah dalam pengiriman menjadi terkatung-katung kondisinya (Kusumaningtyas, 2020).

Komisaris Badan Pengawas Obat dan Makanan AS atau Food and Drug Administration (FDA) menyampaikan bahwa, telah memonitor secara ketat rantai pasokan terkait wabah COVID-19, dimana akan berdampak pada rantai pasokan produk-produk medis, termasuk gangguan dalam memasok maupun ketika terjadi kekurangan produk-produk medis kritis di AS, karena sebagian besar bahan-bahannya saat ini diproduksi di China. Dalam upaya mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut, FDA melakukan alternatif lain yang dapat digunakan yaitu bekerja sama dengan pabrikan-pabrikan lain. Berdasarkan hal tersebut, FDA turut meningkatkan upayanya untuk memastikan kualitas produk-produk luar negeri setelah muncul kekhawatiran bahwa keamanan rantai pasokan obat-obatan AS perlu dipertimbangkan dengan sebaik mungkin (U.S. FDA, 2020).

[Hubungi kami untuk mendapatkan bacaan selengkapnya]

Serangan Coronavirus: Kejutan Tak Terduga

MLRP Update Friday, 11 September 2020

Kejutan Tahun Baru

Pada 31 Desember 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Tiongkok menerima laporan 29 kasus pneumonia etiologi yang tidak diketahui di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok (ECDC, 2020). Dilansir event background yang dirilis oleh ECDC, kasus-kasus tersebut dipercaya terkait dengan pasar makanan laut Huanan di mana unggas hidup dan hewan liar juga dijual. Disangka menjadi pusat penyebaran kasus infeksi tersbut, Pasar Huanan kemudian ditutup pada 1 Januari 2020. Pada 12 Januari 2020, virus ini kemudian diidentifikasi sebagai novel coronavirus (SARS-CoV-2). Meski berasal dari family virus yang sama, yaitu coronavirus, SARS-CoV-2 ini berbeda dari SARS dan MERS yang juga sempat mewabah.

Karakteristik utama virus ini adalah daya transmisinya yang sangat cepat. Sampai dengan tanggal 24 Januari 2020, kasus konfirmasi akibat infeksi virus ini mencapai lebih dari 500 kasus di Provinsi Hubei dan 800 kasus secara nasional Tiongkok (BBC News, 2020). Angka ini mencapai 7.711 kasus terkonfirmasi pada akhir Januari 2020 (BBC News, 2020).

Gambar 1. Peta Sebaran Kasus Konfirmasi Nasional Tiongkok (Sumber: BBC News)

Transmisi Pesat dan Darurat Kesehatan Global

Pada 20 Januari 2020, ilmuwan ahli yang mewakili pemerintah Tiongkok mengatakan bahwa dari pola infeksi virus, penyakit ini menyebar dari orang ke orang (Hernández & Ramzy, 2020). Hal ini disusul dengan konfirmasi sejumlah kecil kasus yang ditemukan di luar Tiongkok, seperti di Thailand, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Vietnam dan Singapura (BBC News, 2020). Dari riwayat perjalanan yang dibagikan, seluruhnya dikonfirmasi sebagai kasus yang berasal dari Tiongkok.

Pada 23 Januari 2020, Pemerintah Tiongkok memutuskan pemberlakuan karantina wilayah untuk kota Wuhan. Segala bentuk perjalanan keluar dilarang dan pergerakan di dalam kota dibatasi secara maksimal. Hal ini merupakan upaya untuk mencegah penyebaran virus yang lebih luas (BBC News, 2020). Kebijakan pembatasan pergerakan ini kemudian meluas ke kota-kota lainnya. Akibatnya, libur panjang ditetapkan di Tiongkok untuk meminimalisir kegiatan dan pergerakan, termasuk pembatalan segala bentuk festival atau perayaan Tahun Baru Tiongkok.

Dilansir dari event background ECDC, kasus pertama infeksi coronavirus di luar Asia yang dilaporkan berasal dari Amerika Serikat pada tanggal 21 Januari 2020, Perancis pada tanggal 24 Januari 2020, disusul oleh Jerman pada 28 Januari 2020. Seluruh kasus tersebut memiliki keterkaitan dengan perjalanan ke Tiongkok. Oleh karena itu, Amerika Serikat mengeluarkan larangan perjalanan ke Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada tanggal 23 Januari 2020 (Martín & Forgione, 2020).

Meski pada 23 Januari 2020 WHO menyatakan bahwa infeksi akibat coronavirus ini “bukan global emergency“, pada 31 Januari 2020 WHO memberikan keputusan terbaru dengan mendeklarasikan infeksi akibat novel coronavirus ini sebagai darurat kesehatan global (BBC News, 2020) karena transmisinya yang begitu cepat. Menyusul hal tersebut, Amerika Serikat mengeluarkan perluasan larangan perjalanan menjadi ke seluruh Tiongkok (BBC News, 2020). Larangan perjalanan yang sama kemudian juga ditetapkan oleh berbagai negara lainnya.

[Unduh dokumen untuk bacaan selengkapnya]

1234

Postingan Terbaru

  • OPSID X MLRP: Predicting circular economy practices of Small-Medium Enterprises (SMEs) in Indonesia: the role of supply chain finance and business survivability
  • BK MLRP X Ekonomi Sirkular ID: Peran Sonjo Dalam Darurat Sampah Jogja
  • Kondisi Logistik Indonesia 2023: Tantangan yang Dihadapi dan Upaya Peningkatan
  • Ketahanan dan Integrasi Rantai Pasok: Konsolidasi Jasa Pengiriman dan Logistik FedEx
  • Bagaimana ChatGPT Meningkatkan Efisiensi Rantai Pasok di Masa Depan?
Universitas Gadjah Mada

Gedung Pertamina Tower Lt. 4, Jl. Sosio Humaniora No. 1, Bulaksumur

(0274) 548510

mlrp.feb@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY