Lingkungan Logistik Internasional dan Indonesia
Sifat lintas sektoral logistik sebagai bidang kebijakan telah diakui secara luas. Logistik tidak hanya tentang menghubungkan infrastruktur tetapi mencakup regulasi layanan, keberlanjutan, dan ketahanan, atau fasilitasi perdagangan (Arvis, et al. 2018). Hal ini tergambar dari perkembangan fokus kebijakan logistik internasional sejak tahun 2007, saat laporan Logistics Performance Index (LPI) pertama diterbitkan. Jika pada awalnya kebijakan logistik cenderung berkonsentrasi pada memfasilitasi perdagangan dan menghilangkan hambatan perbatasan, maka saat ini logistik internasional semakin terjalin dengan logistik domestik (Arvis, et al., 2018) Pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan menangani berbagai kebijakan akan kekhawatiran yang berkembang termasuk perencanaan tata ruang; keterampilan dan sumber daya untuk pelatihan; keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi dari rantai pasokan; dan ketahanan rantai pasokan terhadap gangguan atau bencana (fisik atau digital) (Arvis, et al., 2018).
Di Indonesia, strategi MLRP nasional telah dimuat secara rinci dan terstruktur di bawah payung SISLOGNAS (Sistem Logistik Nasional). SISLOGNAS merupakan cetak biru arah kebijakan logistik di Indonesia yang tertuang dalam Perpres No. 26 Tahun 2012. Cetak biru ini sangat penting untuk mencapai Visi Logistik Indonesia 2025 yaitu “terwujudnya Sistem Logistik yang terintegrasi secara lokal, terhubung secara global untuk meningkatkan daya saing nasional dan kesejahteraan rakyat (locally integrated, globally connected for national competitiveness and social welfare)”. Pengembangan SISLOGNAS merupakan langkah stratejik pemerintah yang dapat berdampak pada semakin baiknya kinerja logistik dan perekonomian di Indonesia.
Langkah lain yang diambil Pemerintah Indonesia sebagai upaya mewujudkan Visi Logistik Indonesia 2025 adalah peresmian Pusat Logistik Berikat (PLB) pada 2016. Tujuan peresmian PLB ini adalah demi terlaksananya efisiensi logistik nasional, meningkatkan ketersediaan barang-barang/bahan baku/barang penunjang industri di dalam negeri baik industri besar maupun menengah dan kecil, sebagai pendorong investasi dalam negeri dan menjadikan Indonesia sebagai hub di Asia Pasifik. Sebelas PLB yang pertama kali diresmikan kemudian menginisiasi organisasi yang saat ini kemudian secara resmi disebut Perkumpulan Pusat Logistik Berikat Indonesia (PPLBI).
Namun, seiring dengan membaiknya kinerja logistik nasional, Indonesia masih harus terus berbenah. Peringkat LPI Indonesia masih jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Singapura (5), Thailand (34), dan Malaysia (35) (Arvis et al., 2018). Indonesia masih tertinggal di enam indikator kinerja logistik yang meliputi kepabeaan, infrastruktur, pengiriman internasional, kualitas dan kompetensi logistik, tracking and tracing, serta ketepatan waktu dalam pengelolaan dan pelayanan logistik. Hal ini tentunya dapat menjadi penghambat daya saing nasional dan keterhubungan internasional sebagaimana tertuang dalam Visi Logistik Indonesia 2025.
Arah Riset dan Kajian 5 Tahun ke Depan (2020-2025)
Beberapa tahun terakhir, kondisi lingkungan bisnis ditandai dengan perubahan super cepat dan tidak dapat diprediksi atau biasa disebut VUCA (Volatile, Unpredictable, Complex, Ambiguous). Hal ini tidak lain disebabkan karena sifat lingkungan dan hubungan bisnis yang dinamis, serta perubahan perilaku konsumen yang lebih cepat. Ditambah saat ini dunia tengah dihadapkan pada krisis akibat wabah COVID-19 yang penyebarannya sangat cepat dan mengejutkan berbagai pihak di seluruh dunia termasuk Indonesia. World Bank memproyeksikan resesi akibat pandemi COVID-19 ini akan 2 kali lebih buruk dari krisis keuangan 2009. Hal ini membawa ketidakpastian, khususnya ketidakpastian bisnis, ke tingkat yang lebih tinggi dari yang bisa diperkirakan. Tidak ada yang menyangka dan siap untuk mengatasi serangan yang sangat tiba-tiba ini.
Sejalan dengan hal itu, MLRP menjadi pilar terdepan dalam menghadapi krisis ini. Krisis akibat COVID-19 telah menempatkan faktor keberlanjutan (sustainability) di tengah sorotan. Krisis ini telah mengekspos kerentanan di seluruh pemerintahan dan industri dan menempatkan nilai keberlanjutan dalam fokus yang lebih tajam daripada sebelumnya (Jan, 2020). Untuk itu, ketahanan MLRP di setiap sektor, utamanya sektor penunjang kebutuhan hidup seperti sektor makanan dan kesehatan, termasuk obat-obatan, menjadi sebuah keharusan untuk bisa bertahan. Tidak dapat dipungkiri pandemi COVID-19 ini mengacaukan sistem dan struktur MLRP yang telah terbangun dengan baik di banyak sektor. Hal ini memicu sorotan bahwa MLRP harus bertransformasi menjadi lebih kuat (resilience) di tengah wacana “regionalisasi MLRP” agar MLRP suatu negara dapat bertahan di tengah krisis sebagai upaya mengurangi kebergantungannya pada negara lain sebagai pemasok bahan baku atau konsumen akhir. Relevan dengan kondisi saat ini, Pusat Kajian MLRP FEB UGM mengarahkan fokus riset dan kajian ke area supply chain sustainability and resilience seperti terlihat pada Gambar berikut.
Gambar 1. Arah Riset MLRP 5 Tahun ke Depan