• Tentang UGM
  • Tentang FEB UGM
  • Logistics Performance Index
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Gambaran Singkat
    • Misi Bidang Kajian MLRP
    • Visi Bidang Kajian MLRP
    • Arah Riset dan Kajian
  • Program dan Kegiatan
    • MLRP Research Club
    • MLRP DataBase
    • MLRP Update
    • MLRP Quarterly
    • MLRP Thesis of The Year
    • MLRP Research
  • Kontak
  • Hubungi Kami
  • Beranda
  • global supply chain
  • global supply chain
Arsip:

global supply chain

by Julius Silver

Shipping Container Shortage Attack on Global Trade

MLRP Update Wednesday, 8 September 2021

Shipping container atau kontainer pengiriman adalah sumber kehidupan perdagangan dunia. Dikatakan demikian karena hampir setiap produk dan partisi dalam ekonomi global bergerak melintasi lautan, rel kereta api, dan jalan raya yang dimuat dalam kontainer-kontainer tersebut. Namun akhir-akhir ini, terjadi kekurangan kontainer pengiriman di tempat-tempat yang paling membutuhkannya.

Kekurangan kontainer pengiriman adalah bentuk lain dari malapetaka yang ditimbulkan pandemik COVID-19 pada rantai pasokan global. Perusahaan pelayaran mulai mengurangi jumlah kontainer yang dikirim ke berbagai wilayah. Ini tidak hanya menghentikan arus reguler barang ekspor dan impor, tetapi juga menyebabkan pembiaran kontainer kosong. Akibat kekurangan ini, biaya pengiriman meningkat. Hal ini pada gilirannya menyebabkan harga barang konsumsi menjadi lebih tinggi.

“Hal ini penting dalam jangka pendek karena masalah pasokan akan berdampak langsung pada inflasi,” kata Suresh Acharya, seorang profesor di sekolah bisnis Universitas Maryland.

Baca ulasan selengkapnya di sini.

Pemulihan Rantai Pasokan: Penguatan Regional dan Teknologi

MLRP Update Friday, 9 July 2021

Pandemi COVID-19 berhasil menyorot dampak ketergantungan banyak perusahaan pada sejumlah pemasok luar negeri, yang utamanya berasal dari China. Hasil survei terhadap 200 profesional rantai pasokan dari lebih dari 160 perusahaan perangkat medis oleh Supplyframe menunjukkan bahwa hanya 32% responden yang meyakini rantai pasokan global akan kembali pada kapasitas penuhnya dalam 6-12 bulan. Sedangkan lainnya meyakini bahwa pemulihan rantai pasokan global membutuhkan waktu lebih dari 12 bulan (20%) atau bahkan dapat mencapai 5 tahun (26%).

Seiring dengan hangatnya pembicaraan terkait isu-isu tersebut, tidak mengherankan jika kemudian strategi onshoring, reshoring, dan nearshoring menjadi strategi-strategi yang hangat diperbincangkan sebagai alternatif ‘penyelamat’ rantai pasokan. Pendekatan dengan strategi-strategi tersebut diyakini dapat menyelamatkan aktivitas bisnis perusahaan yang terganggu akibat ketergantungannya pada pemasok dari luar negeri. Selain itu, profesional rantai pasokan juga meyakini bahwa pada era setelah pandemi COVID-19, recovery (pemulihan) dan resiliency (ketahanan) akan menjadi fokus utama dalam struktur rantai pasokan. Berkenaan dengan hal itu, people, process, dan technology disebut sebagai faktor terpenting dalam pemulihan dan pembangunan ketahanan rantai pasokan.

[Unduh dokumen untuk bacaan selengkapnya]

[embeddoc url=”https://mlrp.feb.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1358/2021/07/10.-Oct-MLRP-Summary-310521.pdf” viewer=”google”]

 

SME Competitiveness Outlook 2020: The Great Lockdown

MLRP Update Friday, 30 April 2021

SME Competitiveness Outlook 2020 merupakan hasil analisis dampak pandemi coronavirus disease (COVID-19) pada perusahaan kecil, rantai pasokan internasional, dan perdagangan yang dilakukan oleh International Trade Center (ITC). Isi laporan ini memberikan proyeksi dan rencana aksi untuk bisnis, pembuat kebijakan, dan organisasi pendukung bisnis untuk mengatasi krisis dengan bersiap untuk ‘normal baru’ yang mengharuskan perusahaan menjadi tangguh, digital, inklusif, dan berkelanjutan.

Pandemi COVID-19 telah sangat mengganggu rantai pasokan dan para pemangku kepentingan telah menyatakan keprihatinan tentang implikasi jangka panjang dari pergolakan ini. Dampak pandemi telah mendorong diskusi tentang bagaimana membuat rantai pasokan lebih tangguh, dengan solusi yang diusulkan termasuk manajemen risiko rantai pasokan yang komprehensif, diversifikasi pasar akhir, dan diversifikasi sumber masukan. Tujuannya adalah untuk memastikan peserta rantai pasokan lain dapat terus berproduksi untuk pasar, bahkan ketika salah satu pembeli atau pemasok terkena dampak krisis.

Semua pelaku rantai pasokan memiliki peran untuk dimainkan dalam membangun rantai pasokan yang tangguh dan bertanggung jawab, dari pemerintah hingga konsumen. Namun, tetap saja perusahaan utama memiliki peran penting dalam mengarahkan rantai pasokan, seperti membuat keputusan terkait praktik produksi, branding, pengadaan dan penjualan. Dalam banyak kasus, perusahaan utama menyerahkan beban risiko di sepanjang rantai pasokan kepada bisnis kecil yang rentan di negara berkembang (outsourcing). Lalu ketika disrupsi besar seperti pandemi COVID-19 datang, rantai pasokan dapat runtuh dalam sekejap. Runtuhnya rantai pasokan mengakibatkan efek domino yang tidak dapat dianggap remeh, seperti pengurangan lapangan kerja dan kebangkrutan, serta pasokan yang tidak mencukupi kepada perusahaan utama dan pelanggannya.

Solusi yang dapat ditawarkan tidak hanya dengan berinvestasi dalam memperkuat ketahanan pemasok skala kecil, tetapi juga dengan memperkuat hubungan yang dimiliki perusahaan-perusahaan dengan rantai pasokan. Kontrak yang lebih baik dengan pemasok UKM dapat memfasilitasi pembagian risiko. Perusahaan utama (focal company) harus mendesain ulang pendekatan mereka terhadap kolaborasi dengan pemasok UKM untuk memastikan nilai bersama yang lebih setara. Rasa saling percaya yang dihasilkan nantinya akan mendorong berbagi informasi dan tindakan kolektif untuk menghadapi tantangan dan gangguan. Begitulah ‘modal sosial’ dalam rantai pasokan ini sangat penting untuk menanggapi krisis dengan mengirimkan informasi dan dana yang diperlukan.

[embeddoc url=”http://mlrp.feb.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1358/2021/04/4.-Sept-MLRP-Focus-261120.pdf” viewer=”google”]

[Unduh dokumen untuk bacaan selengkapnya]

Photo by Thirdman from Pexels

COVID-19: On Supply Chain Sustainability

MLRP Update Friday, 30 April 2021

Di awal tahun 2020, sustainability menjadi salah satu topik terhangat di bidang logistik.

“One principle of sustainability will always ring true—wasting less means spending less.“

(Satu prinsip keberlanjutan akan selalu benar — membuang lebih sedikit berarti menghabiskan lebih sedikit.)

Pembicaraan seputar praktik bisnis berkelanjutan biasanya berkisar pada dampak lingkungan. Konsumen dan pemangku kepentingan sama-sama memberikan perhatian lebih terhadap dampak lingkungan dari perusahaan yang mereka dukung dan tempat mereka berinvestasi. Penilaian tersebut kemudian diwujudkan melalui kebijakan rantai pasokan perusahaan.

Setahun berada di pusaran pendemi coronavirus disease (COVID-19) dan kebijakan karantina yang mengikutinya telah mengubah seluruh rantai pasokan. Saat ini, industri terus dipaksa untuk beradaptasi karena keadaan berubah dari waktu ke waktu. Senada dengan prinsip yang telah disebutkan terkait sustainability, seiring waktu berjalan, perusahaan harus bekerja lebih keras dari sebelumnya untuk mencari cara mendaur ulang lebih banyak dan mengurangi limbah karena jumlah limbah apa pun sekarang akan memiliki dampak yang jauh lebih besar pada keuntungan perusahaan daripada saat pandemi belum melanda. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwa ‘orang’, khususnya karyawan, adalah bagian utama dari persamaan itu juga.

(Baca selengkapnya ulasan berjudul How to Manage Supply Chain Sustainability During COVID-19 yang disusun oleh Ray Hatch dari Quest Resource Management Group di sini.)

 

 

Ketika ‘Normal’ Tidak Lagi Tersedia

MLRP Update Friday, 30 April 2021

Seiring berlarut-larutnya pandemi,

“COVID-19 is testing the quality of supply chains”

(COVID-19 sedang menguji kualitas rantai pasokan)

menjadi pesan yang sering kita dengar, baca, bahkan saksikan sendiri buktinya.

Rantai pasokan memang erat kaitannya dengan kompleksitas dan tantangan. Selama beberapa dekade sebelum pandemi melanda, bisnis dan manufaktur dibangun untuk berfokus penuh pada aspek “optimalisasi”. Prinsip-prinsip efisiensi ekonomi diterapkan di setiap tahapan, mulai dari perencanaan, pengadaan, perakitan, hingga pengiriman bahan baku, suku cadang, dan barang jadi. Hal ini berujung pada lahirnya sistem operasi just-in-time dengan tingkat inventaris rendah, serta waktu pengiriman, penjadwalan logistik dan urutan bongkar muat yang tepat (Hasan, 2020). Jika ditilik kembali, kunci kesuksesan sistem ini terletak pada “prediksi yang tepat”.

Ya, pada dasarnya seluruh hal dapat dan harus dapat diprediksi dengan tepat untuk mencapai efisiensi operasi. Namun semenjak pandemi melanda, operasi yang efisien tidak pernah menjadi penyelamat rantai pasokan untuk mampu bertahan. Nyatanya, hampir seluruh operasi rantai pasokan di seluruh dunia menerima kejutan hebat, sehingga aktivitas operasinya terhalang bahkan terhenti. Mulanya memang gangguan ini terbatas pada produk yang berasosiasi dengan pemasok dari China. Tetapi, dengan lebih banyak negara yang menghentikan operasi industrinya, rantai pasokan lain secara berangsur-angsur juga mengalami gangguan yang parah. Akhirnya, mengejar operasi yang serba tepat waktu nyatanya justru membuat perusahaan tidak siap untuk menerima gangguan besar yang tidak terprediksi.

[embeddoc url=”http://mlrp.feb.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1358/2021/04/9.-Sept-Summary-261120.pdf” viewer=”google”]

[Unduh dokumen untuk bacaan selengkapnya]

Photo by Tim Douglas from Pexels

Deglobalisasi: Globalisasi Rantai Pasokan Tersekat Social Distancing

MLRP Update Friday, 30 April 2021

Apa itu deglobalisasi?

Secara sederhana, deglobalisasi merupakan antitesis dari globalisasi. Jika globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena adanya pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya (Al-Rodhan, 2006), maka deglobalisasi merupakan kebalikannya. Pertanyaannya, apakah ini merupakan hal yang buruk dan berbau negatif? Bagaimana keberlanjutan kegiatan rantai pasokan global jika deglobalisasi terjadi di seluruh dunia? Apakah sistem rantai pasokan yang dibangun selama ini akan runtuh begitu saja seakan-akan tidak berarti dan sia-sia belaka? Tulisan kali ini akan mencoba untuk sedikit membahas mengenai deglobalisasi secara garis besar dan bagaimana implikasinya terhadap praktik rantai pasokan.

Istilah deglobalisasi pertama kali digunakan oleh Walden Bello dalam tulisannya yang berjudul Deglobalization – Ideas for a New World Economy (2005). Bello (2005) menjelaskan deglobalisasi sebagai proses yang akan sepenuhnya mengubah model tata kelola ekonomi global yang ada. Ini juga didukung oleh pendapat beberapa penulis seperti Frankel (2000), James (2001, 2017), Baldwin dan Martin (1999), Williamson (2002), Obstfeld dan Taylor (2002), Sachs dan Warner (1995), dan Taylor (1996) yang mengemukakan bahwa globalisasi ekonomi itu sendiri pada hakikatnya merupakan proses sementara.

Umumnya, globalisasi ekonomi didefinisikan sebagai proses integrasi pasar barang, tenaga kerja, dan modal internasional yang memiliki kekuatan pembangunan paling signifikan pada paruh kedua abad ke-20 (Stanojevic dan Zakic, 2020). Kemudian globalisasi tersebut berkembang pada tiga tingkat yang saling bergantung, yaitu perdagangan internasional, investasi internasional, dan produksi internasional. Globalisasi ekonomi memungkinkan terjadinya globalisasi pada semua lini, sementara salah satu yang terpenting terletak pada rantai pasokan (Stanojevic dan Zakic, 2020).

[embeddoc url=”http://mlrp.feb.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1358/2021/04/3.-AUG-MLRP-Focus-101220.pdf” viewer=”google”]

[Unduh dokumen untuk bacaan selengkapnya]

Potential Problems and Bottlenecks in COVID-19 Vaccines Distribution

MLRP Update Tuesday, 2 February 2021

Ketika pandemi coronavirus disease (COVID-19) pertama melanda dunia pada awal tahun 2020 lalu, banyak pakar dan peneliti kemudian meresponnya dengan melakukan riset dan penelitian yang bertujuan untuk menemukan obat dan vaksin dari virus baru ini. Setelah hampir setahun, titik terang sepertinya mulai terlihat. Sejak awal bulan November 2020, beberapa produsen vaksin telah selesai dengan tahapan uji klinis dan mengumumkan tingkat kemanjurannya (efficacy rate) kepada publik dunia. Sejak itu, produksi dan distribusi vaksin mulai dilakukan di banyak negara.

Ternyata, keberadaan vaksin tidak serta merta meredakan kecemasan dunia. Tekanan agar vaksin dapat didistribusikan dan diberikan dengan cepat terus meningkat, seiring dengan memburuknya kondisi dunia di tengah pandemi ini. Meskipun demikian, pembuat kebijakan di setiap negara terus bekerja untuk membuat vaksinasi tersedia untuk setiap segmen populasi sesegera mungkin.

Sementara banyak pihak berasumsi bahwa banyak dosis yang tersedia akan cukup untuk menciptakan vaksinasi yang berjalan lancar, beberapa pakar mengungkapkan beberapa potensi masalah pada rantai pasokan global di masa mendatang. Para ahli kemudian mendesak pemain kunci (pembuat kebijakan, administrator, distributor, dll) untuk mempertimbangkan dengan hati-hati masalah ini saat mereka bergerak maju dengan distribusi dan administrasi vaksin.

Caroline Barnhill meringkas paparan dari Dr. Robert Handfield dan Dr. Daniel J. Finkenstadt pada webinar yang diselenggarakan oleh Supply Resource Chain Cooperative di Poole College of Management, NC State University. Simak uraian lengkapnya mengenai potensi masalah pada rantai pasokan vaksin global di sini [The COVID-19 Vaccine Supply Chain: Potential Problems and Bottlenecks].

Jens Siebertz juga memaparkan bahwa sangat penting bagi perusahaan untuk mengenali kemacetan rantai pasokan sejak dini agar dapat bertindak secara langsung, sehingga mempertahankan gambaran umum rantai pasokan dan menciptakan transparansi dalam pengadaan selama situasi kritis. Simak uraiannya mengenai cara mendeteksi potensi masalah rantai pasokan sejak dini di sini [Early detection of supply chain bottlenecks due to Covid-19 with data analytics].

Deglobalisasi dan Bertahan Hidup: Kemunduran Rantai Pasokan Global

MLRP Update Friday, 15 January 2021

Pandemi coronavirus disease (COVID-19) di Indonesia menunjukkan kondisi yang terus memburuk, ditunjukkan dengan angka infeksi yang tidak kunjung turun. Peningkatan jumlah kasus positif COVID-19 mengindikasikan bahwa keadaan bisnis, baik di Indonesia maupun seluruh dunia, belum akan kembali seperti sedia kala. Bahkan bisa jadi tidak akan kembali. Istilah new normal sejatinya merujuk pada masa transisi menuju kebiasaan-kebiasaan baru, artinya cara kerja bisnis yang lama menjadi tidak lagi relevan untuk diikuti. Sebagaimana yang diketahui, pandemi COVID-19 membawa dampak besar pada banyak aspek kehidupan dan bisnis. Hal-hal seperti pembatalan penerbangan, larangan perjalanan dan kewajiban karantina, penutupan restoran dan kafe, hingga pembatasan kegiatan, baik indoor maupun outdoor, menjadi sesuatu yang lumrah terjadi.

Akibat pandemi COVID-19, lebih dari empat puluh negara menyatakan keadaan darurat, perlambatan besar-besaran pada rantai pasokan, volatilitas pasar saham, jatuhnya kepercayaan bisnis, meningkatnya kepanikan di antara penduduk, dan ketidakpastian tentang masa depan. Hal ini kemungkinan besar akan terus berlangsung hingga ditemukannya solusi hidup terbaik di tengah pandemi. Pada sisi bisnis dan rantai pasokan, dapat disimpulkan bahwa pandemi COVID-19 merupakan satu-satunya gangguan terbesar dalam aktivitas bisnis selama 10 tahun terakhir (Supply Chain Quarterly, 2020).

Tentunya, gangguan pada aktivitas rantai pasokan yang dibawa oleh pandemi COVID-19 ini berdampak terhadap seluruh pihak, mulai dari hulu hingga hilir. Dampak dari terhambatnya kegiatan rantai pasokan tidak hanya terbatas pada melambatnya proses produksi, tertapi juga pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. Situasi ini membuat perdagangan terbuka tidak lagi menjadi primadona dalam menjalankan bisnis. Akibat kesulitan pasokan yang ditimbulkan oleh pandemi, banyak negara kemudian mengambil langkah untuk berfokus pada kedaulatan ekonomi domestik dengan memperkuat produksi lokal dan perdagangan intraregional. Apa yang terjadi saat ini disebut dengan deglobalisasi, oleh banyak pakar. Lantas apakah ini merupakan hal yang sepenuhnya buruk?

[Unduh dokumen untuk bacaan selengkapnya]

Ketahanan Rantai Pasokan: Transformasi Transportasi sebagai Infrastruktur Pariwisata

MLRP Update Friday, 15 January 2021

Pariwisata dan transportasi merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan. Transportasi merupakan salah satu pilar utama keberlanjutan pariwisata. Ketika pandemi coronavirus disease (COVID-19) melanda dan meruntuhkan sektor pariwisata, sektor transportasi juga tidak luput dari imbasnya. Selain akibat penyebaran COVID-19, imbas terbesar yang diterima kedua sektor ini tidak lain adalah akibat kebijakan darurat seperti pembatasan pergerakan dan karantina wilayah atau lockdown yang diambil pemerintah setempat. Meskipun saat ini kebijakan-kebijakan darurat tersebut sedikit demi sedikit sudah mulai diangkat, industri pariwisata tidak serta merta dapat kembali ke kondisi normal seperti sebelum pandemi.

Sebagaimana yang diketahui, pandemi COVID-19 masih berlangsung, sehingga tujuan utama dari penarikan kebijakan-kebijakan darurat tersebut bukanlah untuk membuka kembali kesempatan untuk berwisata secara bebas, melainkan sebagai stimulus agar roda perekonomian yang bergantung dari adanya perpindahan dan pergerakan dapat pulih. Hal ini tentu membuat negara-negara yang sebelumnya cukup bergantung pada industri pariwisata, seperti Indonesia, harus memutar otak agar industri pariwisata dapat bangkit kembali tanpa mengorbankan keselamatan dan kesehatan stakeholder pariwisata, mulai dari wisatawan hingga penyedia atau pengelola destinasi pariwisata.

Upaya pemulihan industri pariwisata harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Hingga saat ini banyak usulan sedang digodok pemerintah berbagai negara demi bisa mewujudkan pariwisata yang aman. Salah satu sektor yang disorot dalam upaya pemulihan industri pariwisata adalah transportasi. Sebagai faktor kunci dalam pergerakan wisatawan dan pasokan pariwisata, transformasi transportasi selama dan setelah pandemi COVID-19 harus dirancang dengan matang. Budd dan Ison (2020) menawarkan konsep bernama Responsible Transport, istilah baru yang didefinisikan sebagai transportasi yang memberikan mobilitas yang aman, terjamin, dan adil yang mengedepankan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan sebagai inti dari kebijakan, perencanaan, dan pengoperasian transportasi pasca COVID-19. 

[Unduh dokumen untuk bacaan selengkapnya]

Vaksin COVID-19 Tiba, Apakah Rantai Pasokan Dunia Sudah Siap?

MLRP Update Thursday, 14 January 2021

Pandemi COVID-19 menjadi kejutan besar di awal tahun 2020. Ini menjadi peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dan berdampak pada setiap individu, setiap negara, setiap bisnis, dan setiap rantai pasokan di dunia. Merupakan rahasia umum bahwa rantai pasokan dunia telah terguncang dengan sangat hebat oleh peristiwa ini.

Pandemi COVID-19 ibarat tombol reset yang mengembalikan seluruh pencapaian dan kemajuan rantai pasokan dunia ke titik nol.

“The logistics industry’s future beyond the COVID-19 pandemic remains uncertain and that greater macroeconomic clarity might not be possible for some time.”

Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Angela Titzrath, Ketua Umum Hamburger Hafen und Logistik AG (HHLA) dalam pernyataannya pada 12 November 2020 kepada pemegang saham. Ia kembali menegaskan bahwa yang dibutuhkan setiap orang di dunia saat ini adalah ‘kejelasan’, yang mana menurutnya saat ini masih menjadi kemungkinan yang jauh. Hal ini dikarenakan guncangan yang dibawa oleh COVID-19 masih dan akan terus terjadi hingga waktu yang belum dapat diketahui akhirnya.

Baca selengkapnya [Supply chain faced with many uncertainties beyond COVID-19]

Namun, cahaya harapan pelan-pelan muncul. Di tengah ketidakpastian akibat COVID-19 yang melanda, pengembangan vaksin COVID-19 mulai membuahkan hasil manis. Beberapa pengembang vaksin besar seperti Pfizer telah merilis bukti keefektivan vaksin produksinya dalam menangkal infeksi virus corona baru ini. Baca selengkapnya di sini.

Meskipun demikian, butuh banyak upaya demi menyampaikan vaksin dari produsen hingga ke setiap masyarakat di dunia. Ya, kunci utamanya adalah logistik. Logistik sebagai industri yang menyalurkan barang di seluruh dunia dengan kapal, pesawat, dan truk mengakui bahwa mereka tidak siap untuk menangani tantangan pengiriman vaksin COVID-19 dari pembuat obat ke miliaran orang.

Sebagaimana yang diketahui perusahaan pengangkutan menghadapi banyak permasalahan, mulai dari menyusutnya kapasitas kapal kontainer dan pesawat kargo hingga kurangnya visibilitas tentang kapan vaksin akan tersedia. Jika vaksin sudah tersedia, tidak menutup kemungkinan masalah lainnya akan muncul, seperti tidak siapnya teknologi yang dibutuhkan untuk mendistribusikannya hingga permasalahan dokumen yang tidak praktis.

Meskipun begitu, berbagai upaya terus dilakukan pihak-pihak terkait untuk memungkinkan distribusi vaksin COVID-19 yang baik dan benar secara berkelanjutan. Para pakar memperkirakan segala upaya ini akan berbuah manis pada tahun 2021. Tentunya dengan upaya besar dan cermat.

It’s doable, but not without a coordinated global strategy. 

Baca selengkapnya [The World’s Supply Chain Isn’t Ready for a Covid-19 Vaccine].

 

 

12

Postingan Terbaru

  • OPSID X MLRP: Predicting circular economy practices of Small-Medium Enterprises (SMEs) in Indonesia: the role of supply chain finance and business survivability
  • BK MLRP X Ekonomi Sirkular ID: Peran Sonjo Dalam Darurat Sampah Jogja
  • Kondisi Logistik Indonesia 2023: Tantangan yang Dihadapi dan Upaya Peningkatan
  • Ketahanan dan Integrasi Rantai Pasok: Konsolidasi Jasa Pengiriman dan Logistik FedEx
  • Bagaimana ChatGPT Meningkatkan Efisiensi Rantai Pasok di Masa Depan?
Universitas Gadjah Mada

Gedung Pertamina Tower Lt. 4, Jl. Sosio Humaniora No. 1, Bulaksumur

(0274) 548510

mlrp.feb@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY