Pandemi coronavirus disease (COVID-19) di Indonesia menunjukkan kondisi yang terus memburuk, ditunjukkan dengan angka infeksi yang tidak kunjung turun. Peningkatan jumlah kasus positif COVID-19 mengindikasikan bahwa keadaan bisnis, baik di Indonesia maupun seluruh dunia, belum akan kembali seperti sedia kala. Bahkan bisa jadi tidak akan kembali. Istilah new normal sejatinya merujuk pada masa transisi menuju kebiasaan-kebiasaan baru, artinya cara kerja bisnis yang lama menjadi tidak lagi relevan untuk diikuti. Sebagaimana yang diketahui, pandemi COVID-19 membawa dampak besar pada banyak aspek kehidupan dan bisnis. Hal-hal seperti pembatalan penerbangan, larangan perjalanan dan kewajiban karantina, penutupan restoran dan kafe, hingga pembatasan kegiatan, baik indoor maupun outdoor, menjadi sesuatu yang lumrah terjadi.
Pariwisata dan transportasi merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan. Transportasi merupakan salah satu pilar utama keberlanjutan pariwisata. Ketika pandemi coronavirus disease (COVID-19) melanda dan meruntuhkan sektor pariwisata, sektor transportasi juga tidak luput dari imbasnya. Selain akibat penyebaran COVID-19, imbas terbesar yang diterima kedua sektor ini tidak lain adalah akibat kebijakan darurat seperti pembatasan pergerakan dan karantina wilayah atau lockdown yang diambil pemerintah setempat. Meskipun saat ini kebijakan-kebijakan darurat tersebut sedikit demi sedikit sudah mulai diangkat, industri pariwisata tidak serta merta dapat kembali ke kondisi normal seperti sebelum pandemi.
Pandemi COVID-19 menjadi kejutan besar di awal tahun 2020. Ini menjadi peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dan berdampak pada setiap individu, setiap negara, setiap bisnis, dan setiap rantai pasokan di dunia. Merupakan rahasia umum bahwa rantai pasokan dunia telah terguncang dengan sangat hebat oleh peristiwa ini.
Pandemi COVID-19 ibarat tombol reset yang mengembalikan seluruh pencapaian dan kemajuan rantai pasokan dunia ke titik nol.
“The logistics industry’s future beyond the COVID-19 pandemic remains uncertain and that greater macroeconomic clarity might not be possible for some time.”
Realita yang ada saat ini menunjukkan bahwa mayoritas aktivitas bisnis dari perusahaan-perusahaan multinasional tidak banyak mengindahkan pelajaran di sisi rantai pasokan dari bencana kesehatan pada 1 dekade terakhir, seperti SARS, Ebola, dan MERS. Pada akhirnya, perusahaan mengalami gangguan pasokan yang cukup dalam ketika coronavirus disease (COVID-19) melanda dan dengan pesat menyebar. Demi memastikan hal yang sama tidak terjadi di waktu berikutnya, perusahaan perlu memetakan kembali prioritas rantai pasokan mereka, mana yang utama dan mana yang bisa dikesampingkan. Hal ini mencakup hal-hal seperti mengidentifikasi sumber pengadaan barang dan mengubah pola pikir dalam hal menilai pengadaan barang. Artinya, pengadaan barang bukanlah sebagai wujud dari penghematan biaya, tetapi untuk membangun aspek ketahanan rantai pasokan di tengah pandemi (Choi et al., 2020).
Survei Gartner’s Weathering the Supply Chain Storm terhadap 236 profesional rantai pasokan menunjukkan bahwa hanya sekitar 21% pemimpin industri yang meyakini bahwa rantai pasokan mereka saat ini memiliki ketahanan tinggi, sedangkan 55% lainnya berharap dapat mengembangkan karakteristik tersebut dalam dua hingga tiga tahun ke depan (Gartner, 2020).
Black swan dari Rantai Pasokan di Era Pandemi
Selama ini resilienceatau ketahanan hanyalah sebuah aspek umum dari rantai pasokan yang jarang ditempatkan di tengah sorot utama pembahasan. Tidak sampai 1 dekade terakhir hingga serangan pandemi coronavirus disease (COVID-19) yang melanda sejak tahun 2020. Bagaikan black swan, ketahanan menjadi isu yang tidak dapat dipinggirkan ketika membahas hal-hal yang berkaitan dengan logistik dan rantai pasokan di tengah pandemi COVID-19.
COVID-19 dan rantai pasokan.
Seperti yang kita semua tahu, guncangan yang dibawa oleh COVID-19 sangatlah parah untuk rantai pasokan dunia. Di tengah guncangan besar ini, “resilience” menjadi topik yang hangat didiskusikan, baik itu sebagai aspek penting yang ‘dilupakan’ banyak organisasi dunia ketika membangun strategi rantai pasokan mereka, maupun sebagai aspek penting dalam pengembangan strategi dan infrastruktur pemulihan rantai pasokan seluruh organisasi di dunia.
Nyatanya, membangun resilience atau ketahanan memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Tidak banyak organisasi yang mampu mengamankan jaringan pasokannya tanpa terguncang oleh COVID-19. Namun, Flex menjadi salah satu perusahaan elektronik dunia, yang memiliki 10.000 vendor produksi di China, yang mampu melakukannya. Di saat COVID-19 masih menjadi epidemi di China, Flex dengan sigap mengambil langkah-langkah preventif yang memperhitungkan kemungkinan dampak terburuk yang akan dialami jika COVID-19 menjadi pandemi dan menyebar ke seluruh dunia.
Lean dan agile, merupakan dua strategi yang paling banyak digunakan dalam rantai pasokan.
Pada banyak sisi, kedua strategi ini berlawanan satu sama lain. Saat strategi lean berfokus pada pengurangan biaya dengan memproduksi barang dalam jumlah besar dan tingkat fleksibilitas yang rendah, strategi agile berfokus pada pemenuhan permintaan pasar dengan memproduksi barang dalam jumlah kecil dan dapat disesuaikan atau memiliki tingkat fleksibilitas tinggi. Lalu, simanakah letak perbedaan lain kedua strategi ini secara spesifik?
Pernah mendengar model bisnis bernama continuous intelligent planning?
Model ini berkaitan dengan penggunaan data internal dan data eksternal untuk membentuk alur kerja yang terinformasi dengan baik. Ditambah lagi dengan memadukannya dalam platform yang menghadirkan artificial intelligence (AI), otomatisasi, dan teknologi baru lainnya seperti blockchain dan Internet-of-Things (IoT).
Diungkapkan Jonathan Wright, mitra pengelola dan pimpinan rekayasa ulang proses kognitif global di IBM Service, model bisnis ini sesuai untuk diterapkan di masa depan sebagai evolusi strategi dan perencanaan rantai pasokan menghadapi pandemi coronavirus disease (COVID-19). Wright menyoroti, bahwa akibat pandemi, volatility atau sifat mudah berubah akan menjadi norma baru pada sistem rantai pasokan masa depan. Sehingga, basis operasi di masa depan haruslah bertumpu pada informasi real-time yang cepat berubah, alih-alih data serial-historis.
Bagaimana rantai pasokan berperan dalam menuntaskan bencana kemanusiaan?
Masalah akibat pandemi yang terjadi saat ini merupakan disrupsi yang luar biasa dan tidak terduga sebelumya, sehingga bisa dianggap sebagai salah satu bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Hal ini telah memengaruhi banyak aspek kehidupan manusia, termasuk rantai pasokan itu sendiri, serta logistik dan rantai pasokan kemanusiaan atau humanitarian logistics and supply chain management (HLSCM). Begitulah gambaran besar terkait masalah yang manusia hadapi saat ini, yaitu pandemi coronavirus disease (COVID-19).
Pernahkah Anda mendengar istilah FOMO?
FOMO // Fear of Missing Out // Anxiety that an exciting or interesting event may currently be happening elsewhere, often aroused by posts seen on social media. [lexico]
Ya, FOMO merupakan perasaan cemas dan takut akan ketinggalan sesuatu yang baru. Sesuatu yang dimaksud dapat bermacam-macam, salah satunya tren fashion.
Sebelum pandemi melanda, dunia mode dipenuhi dengan konsumen berslogan “I want it now!”. Dipadukan dengan kecepatan internet dan kecanggihan media sosial saat ini, menjadi “yang terkini” sama artinya dengan bentuk “aktualisasi diri” bagi pecinta mode. Pada sisi lain, hal ini memicu timbulnya budaya FOMO pada dunia mode.