Seiring berlarut-larutnya pandemi,
“COVID-19 is testing the quality of supply chains”
(COVID-19 sedang menguji kualitas rantai pasokan)
menjadi pesan yang sering kita dengar, baca, bahkan saksikan sendiri buktinya.
Rantai pasokan memang erat kaitannya dengan kompleksitas dan tantangan. Selama beberapa dekade sebelum pandemi melanda, bisnis dan manufaktur dibangun untuk berfokus penuh pada aspek “optimalisasi”. Prinsip-prinsip efisiensi ekonomi diterapkan di setiap tahapan, mulai dari perencanaan, pengadaan, perakitan, hingga pengiriman bahan baku, suku cadang, dan barang jadi. Hal ini berujung pada lahirnya sistem operasi just-in-time dengan tingkat inventaris rendah, serta waktu pengiriman, penjadwalan logistik dan urutan bongkar muat yang tepat (Hasan, 2020). Jika ditilik kembali, kunci kesuksesan sistem ini terletak pada “prediksi yang tepat”.
Ya, pada dasarnya seluruh hal dapat dan harus dapat diprediksi dengan tepat untuk mencapai efisiensi operasi. Namun semenjak pandemi melanda, operasi yang efisien tidak pernah menjadi penyelamat rantai pasokan untuk mampu bertahan. Nyatanya, hampir seluruh operasi rantai pasokan di seluruh dunia menerima kejutan hebat, sehingga aktivitas operasinya terhalang bahkan terhenti. Mulanya memang gangguan ini terbatas pada produk yang berasosiasi dengan pemasok dari China. Tetapi, dengan lebih banyak negara yang menghentikan operasi industrinya, rantai pasokan lain secara berangsur-angsur juga mengalami gangguan yang parah. Akhirnya, mengejar operasi yang serba tepat waktu nyatanya justru membuat perusahaan tidak siap untuk menerima gangguan besar yang tidak terprediksi.