Pandemi coronavirus disease (COVID-19) di Indonesia menunjukkan kondisi yang terus memburuk, ditunjukkan dengan angka infeksi yang tidak kunjung turun. Peningkatan jumlah kasus positif COVID-19 mengindikasikan bahwa keadaan bisnis, baik di Indonesia maupun seluruh dunia, belum akan kembali seperti sedia kala. Bahkan bisa jadi tidak akan kembali. Istilah new normal sejatinya merujuk pada masa transisi menuju kebiasaan-kebiasaan baru, artinya cara kerja bisnis yang lama menjadi tidak lagi relevan untuk diikuti. Sebagaimana yang diketahui, pandemi COVID-19 membawa dampak besar pada banyak aspek kehidupan dan bisnis. Hal-hal seperti pembatalan penerbangan, larangan perjalanan dan kewajiban karantina, penutupan restoran dan kafe, hingga pembatasan kegiatan, baik indoor maupun outdoor, menjadi sesuatu yang lumrah terjadi.
Akibat pandemi COVID-19, lebih dari empat puluh negara menyatakan keadaan darurat, perlambatan besar-besaran pada rantai pasokan, volatilitas pasar saham, jatuhnya kepercayaan bisnis, meningkatnya kepanikan di antara penduduk, dan ketidakpastian tentang masa depan. Hal ini kemungkinan besar akan terus berlangsung hingga ditemukannya solusi hidup terbaik di tengah pandemi. Pada sisi bisnis dan rantai pasokan, dapat disimpulkan bahwa pandemi COVID-19 merupakan satu-satunya gangguan terbesar dalam aktivitas bisnis selama 10 tahun terakhir (Supply Chain Quarterly, 2020).
Tentunya, gangguan pada aktivitas rantai pasokan yang dibawa oleh pandemi COVID-19 ini berdampak terhadap seluruh pihak, mulai dari hulu hingga hilir. Dampak dari terhambatnya kegiatan rantai pasokan tidak hanya terbatas pada melambatnya proses produksi, tertapi juga pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. Situasi ini membuat perdagangan terbuka tidak lagi menjadi primadona dalam menjalankan bisnis. Akibat kesulitan pasokan yang ditimbulkan oleh pandemi, banyak negara kemudian mengambil langkah untuk berfokus pada kedaulatan ekonomi domestik dengan memperkuat produksi lokal dan perdagangan intraregional. Apa yang terjadi saat ini disebut dengan deglobalisasi, oleh banyak pakar. Lantas apakah ini merupakan hal yang sepenuhnya buruk?