Pernahkah Anda mendengar istilah FOMO?
FOMO // Fear of Missing Out // Anxiety that an exciting or interesting event may currently be happening elsewhere, often aroused by posts seen on social media. [lexico]
Ya, FOMO merupakan perasaan cemas dan takut akan ketinggalan sesuatu yang baru. Sesuatu yang dimaksud dapat bermacam-macam, salah satunya tren fashion.
Sebelum pandemi melanda, dunia mode dipenuhi dengan konsumen berslogan “I want it now!”. Dipadukan dengan kecepatan internet dan kecanggihan media sosial saat ini, menjadi “yang terkini” sama artinya dengan bentuk “aktualisasi diri” bagi pecinta mode. Pada sisi lain, hal ini memicu timbulnya budaya FOMO pada dunia mode.
Budaya FOMO tidak hanya terbatas bagi konsumen, hal yang sama berlaku juga bagi produsen dan penyedia mode seperti toko dan merek mode. Di tengah persaingan mode yang ketat dan serba cepat, mereka terus berlomba untuk menjadi “yang terkini” dalam menciptakan dan menyediakan mode terbaru. Kemudian, seperti yang kita semua tahu, pandemi melanda dan menyulap dunia seperti dalam sekejab. Masyarakat berdiam di rumah, toko sepi, tidak ada konsumen berbelanja, tidak ada pesta, tidak ada festival, tidak ada pagelaran mode, bahkan tidak ada Fashion Week.
Lalu bagaimana dengan segala karya mode yang siap diluncurkan, ditampilkan, atau bahkan sudah tertata rapi di jendela toko? Bagaimana kebijakan pengadaan material dan produksi mode di tengah pandemi? Bagaimana dengan kemungkinan re-shoring operations yang sudah sejak lama menjadi usulan?
Yes, show must go on. Catherine Salaffino dari Sourcing Journal memaparkan analisisnya tentang bagaimana pandemi memaksa penjual karya mode merangkai ulang rantai pasokannya agar dapat bertahan atau bahkan melompat lebih tinggi di tengah pandemi ini. Baca selengkapnya di sini.