COVID-19: Desakan Restrukturisasi
Sejak ditetapkan sebagai darurat kesehatan global atau pandemi pada bulan Maret 2020, tindakan pencegahan, penanganan, dan penanggulangan transmisi coronavirus disease (COVID-19) tidak henti dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai level dan berbagai bidang. Krisis ini memberikan dampak yang beragam tidak hanya di bidang kesehatan, tetapi juga di berbagai bidang lainnya, tidak terkecuali bidang manajemen logistik dan rantai pasokan (MLRP). Memasuki bulan Mei 2020, di level global fokus pembahasan MLRP berkutat pada isu ‘bagaimana struktur rantai pasokan global akan berubah paska krisis ini, sekarang dan nanti’.
Pandemi COVID-19 membawa struktur rantai pasokan global untuk berubah secara paksa. Tidak dipungkiri, keputusan karantina wilayah atau lockdown yang diambil Pemerintah Tiongkok merupakan pemicunya. Demi mencegah meluasnya transmisi COVID-19, pemerintah Tiongkok menetapkan keputusan lockdown dan pembatasan pergerakan maksimal secara nasional yang kemudian cepat memengaruhi dunia internasional. Hal ini berbuntut pada pembatasan dan penghentian kegiatan produksi termasuk pengiriman produk ke luar negeri. Keputusan ini tentu memberi efek kejut yang besar terhadap rantai pasokan banyak industri di dunia mengingat Tiongkok merupakan pusat rantai pasokan manufaktur global. Jepang dan Korea Selatan menjadi negara tetangga yang ‘terpaksa’ memutus aliran produksi dengan Tiongkok secara resmi (Olson, 2020). Langkah ini diambil karena keputusan pemerintah Tiongkok tersebut menghambat produksi dan menyebabkan kerugian besar bagi berbagai perusahaan di berbagai negara. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat juga mengeluarkan kebijakan yang secara tidak langsung ‘memaksa’ pemutusan jaringan rantai pasokan industri dengan Tiongkok dengan meningkatkan tarif atau bea perdagangan. Meskipun diwarnai isu politik hubungan antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang memang sudah memanas sejak akhir tahun lalu, Pemerintah Amerika Serikat mengklaim bahwa langkah ini diambil dengan alasan untuk memutus ketergantungan produksi dan rantai pasokan Amerika Serikat dari Tiongkok, di tengah terus meningkatnya jumlah kematian di Amerika Serikat akibat COVID-19 (Pamuk & Shalal, 2020).
Tiongkok memegang peran kunci manufaktur global. Cordon & Buatois (2020) menyatakan bahwa produsen peralatan elektronik besar memperoleh sekitar 40% suku cadang mereka dari Tiongkok termasuk sub perakitan. Pada industri farmasi di Eropa, 80% komponen aktif untuk pasokan obatnya diimpor dari Tiongkok dan India. Keputusan banyak negara untuk memutus rantai pasokannya dari Tiongkok membuat banyak produsen di berbagai industri yang selama ini mengandalkan pasokan bahan baku maupun produk jadi dari Tiongkok harus memutar otak agar kegiatan bisnisnya tetap berjalan. Keputusan ini merupakan satu hal yang memicu perubahan struktur rantai pasokan dunia, utamanya pada aspek sourcing atau pengadaan logistik.
Jebakan Bernama Globalisasi
Uraian bagaimana mengejutkannya dampak COVID-19 pada rantai pasokan global cukup menjadi dasar untuk mengatakan bahwa serangan COVID-19 ini berhasil mengungkapkan kelemahan sistem manufaktur global dengan paksa. Bahwa kenyataannya rantai ini hanya sekuat titik terlemahnya, yaitu pada istilah ‘global’ itu sendiri. Maka untuk meresponnya, struktur dan perilaku “bergantung” di dalam rantai pasokan global harus benar-benar dipikir ulang.
Pandemi COVID-19 menyingkap fakta yang cukup mengejutkan bahwa banyak perusahaan beroperasi dengan pondasi atau struktur bisnis yang tidak cukup kuat untuk menyerap gangguan besar dan realisasi ini menuntut perubahan. Mengambil pelajaran dari krisis akibat pandemi COVID-19 ini, perubahan struktur pada aktivitas perdagangan global pasca-COVID-19 diprediksi akan menjadi lebih tidak bergantung pada pihak lain, dalam hal ini adalah negara lain. Hal ini salah satunya diwujudkan dalam kebijakan yang mendorong lebih banyak produksi dalam negeri yang mulai diterapkan baik di negara maju atau berkembang (Olson, 2020). Contohnya Vietnam telah melarang ekspor beras dan India telah membatasi ekspor obat antimalaria.
Cordon & Buatois (2020) menggunakan istilah ‘From globalization to regionalization’ untuk menggambarkan bagaimana transformasi rantai pasokan global akan terjadi pasca krisis akibat COVID-19. Saluran-saluran logistik di tingkat regional akan digalakkan kembali untuk menghilangkan ketergantungan akan sumber tunggal, membangun rantai pasokan yang fleksibel, dan utamanya mudah beradaptasi ketika krisis tiba-tiba terjadi. Frikkee (2020) menambahkan bahwa beberapa perusahaan telah memindahkan rantai pasokan dari Tiongkok ke bagian lain di Asia. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk bergerak lebih dekat ke pelanggan utama dengan menambahkan rantai pasokan lokal atau regional, sehingga menciptakan bisnis yang kurang terkonsentrasi dan lebih seimbang. Ketika sebuah jaringan rantai pasokan memiliki kemampuan untuk mendapatkan produk secara lokal, berarti waktu tenggang akan menjadi lebih pendek dan risiko akan menjadi lebih rendah, meskipun hal ini seringkali berarti biaya yang lebih tinggi. Namun dengan pengelolaan yang baik hal ini bisa diatasi, misalnya dengan membebankan biaya ini kepada pelanggan untuk beberapa produk tertentu.