COVID-19 dan Indonesia: Dan Kisahnya Dimulai
Seluruh masyarakat dunia tengah memerangi pandemi COVID-19. Virus ini muncul pertama kali di China mulai dari akhir tahun 2019, dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Dampak pandemi COVID-19 tidak hanya dirasakan pada sektor kesehatan, tetapi juga dirasakan pada sektor ekonomi. Apabila tidak ada tindakan pencegahan segera, maka akan berdampak pada sosial-ekonomi yang sangat luas. Misalnya, dalam hal perdagangan, pariwisata, pasar saham, rantai pasokan dan semua aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Disrupsi yang dihadapi pada rantai pasokan secara signifikan, misalnya perusahaan-perusahaan barat menghadapi kehabisan stok dan kekurangan bahan baku penting. Sistem pangan yang terus berubah dan relatif bergantung pada berbagai pelaku dalam satu sistem otomatis berubah.
Berbeda dengan SARS yang awalnya ditutupi, COVID-19 penangannya lebih cepat (O’Byrne, 2020). Hal ini dibuktikan dengan beberapa negara terdampak segera melakukan penguncian atau lockdown untuk meminimalkan penyebaran COVID-19. Diawali oleh China, melakukan lockdown pada tanggal 23 Januari 2020, disusul oleh Italia, Denmark, Polandia, Spanyol, Belanda, dan Prancis pada tanggal 16 Maret 2020 (WHO, 2020). Khususnya, sebagian besar pabrik di China melakukan lockdown untuk menahan semakin luasnya penyebaran virus ini.
Pada konteks internasional, terjadi kekurangan bahan baku besar-besaran akibat rantai pasokan yang terganggu. Sebagai contoh, Food and Drug Administration melaporkan bahwa pertama kali mengalami kekurangan pada salah satu obat mereka, terjadi juga pada kurang lebih 63 produsen di China yang memasok perangkat medis (Warzel, 2020). Lebih jauh di Afrika Timur, terdapat empat kapal China belum mendarat di Pelabuhan Mombasa pada bulan Januari dan Februari 2020. Hal ini mengakibatkan sebanyak delapan pengiriman gagal di awal bulan Maret 2020 dan mengganggu rantai pasokan (Anyanzwa dan Olingo, 2020). Sama halnya di Asia Tenggara, produsen mengalami disrupsi besar karena penyebaran COVID-19. Sebagai contoh, lebih dari 1.000 pekerja di-PHK dari pabrik garmen di Myanmar. Pabrik garmen ini ditutup karena kekurangan bahan baku yang berasal dari China (Chua, 2020). Beberapa contoh tersebut menunjukkan bahwa pembatasan pergerakan atau lockdown di China memengaruhi rantai pasokan global. Berikut hasil pencarian berita dengan kata kunci ”coronavirus supply chain” dengan rentang waktu tanggal 1 sampai 31 Maret 2020.
Pembelian ‘Panik’: Awal Maret 2020
Pada awal bulan Maret, terjadi panjangnya antrian, rendahnya persediaan, lamanya waktu tunggu, dan berbagai kekacauan lainnya terjadi di hampir seluruh negara. Pertama, peralatan atau barang yang dicari stoknya sedikit, seperti makanan yang tidak mudah busuk, disinfektan, air mineral botolan dan kertas toilet, hand sanitizer, dan lain-lain. Contohnya di Amerika Serikat, supermarket “diserang” konsumen yang panic buying membeli hingga delapan galon air mineral, dan 20 jenis sayuran (Telford dan Bhattarai, 2020). Dalam hal ini, poin kepercayaan menjadi relevan untuk memastikan kepercayaan publik terhadap penyedia barang dan makanan. Jika ada kurangnya kepercayaan publik terhadap sistem pangan, maka yang terjadi adalah kecemasan. Kecemasan di sekitar pasokan makanan menciptakan badai yang sempurna dan mengakibatkan panic buying tersebut (Telford dan Bhattarai, 2020). Kedua, pandemi Covid-19 juga menghantam ekonomi Jerman sehingga membahayakan rantai pasokan. Pengiriman lewat laut dari China sampai memakan waktu hingga enam minggu (Nienaber, 2020). Ketiga, Amazon melaporkan bahwa mereka mengalami keterlambatan pengiriman dan kehabisan stok pada beberapa produk yang sangat diminati (Amazon, 2020). Hal ini terjadi karena tingginya permintaan yang tidak diimbangi dengan jumlah tenaga kerja. Dapat disimpulkan bahwa awal bulan Maret 2020 menjadi awal era disrupsi pada rantai pasokan, karena perusahaan banyak kekurangan bahan pangan sekaligus bahan medis dimana-mana.