Realita yang ada saat ini menunjukkan bahwa mayoritas aktivitas bisnis dari perusahaan-perusahaan multinasional tidak banyak mengindahkan pelajaran di sisi rantai pasokan dari bencana kesehatan pada 1 dekade terakhir, seperti SARS, Ebola, dan MERS. Pada akhirnya, perusahaan mengalami gangguan pasokan yang cukup dalam ketika coronavirus disease (COVID-19) melanda dan dengan pesat menyebar. Demi memastikan hal yang sama tidak terjadi di waktu berikutnya, perusahaan perlu memetakan kembali prioritas rantai pasokan mereka, mana yang utama dan mana yang bisa dikesampingkan. Hal ini mencakup hal-hal seperti mengidentifikasi sumber pengadaan barang dan mengubah pola pikir dalam hal menilai pengadaan barang. Artinya, pengadaan barang bukanlah sebagai wujud dari penghematan biaya, tetapi untuk membangun aspek ketahanan rantai pasokan di tengah pandemi (Choi et al., 2020).
2020
Survei Gartner’s Weathering the Supply Chain Storm terhadap 236 profesional rantai pasokan menunjukkan bahwa hanya sekitar 21% pemimpin industri yang meyakini bahwa rantai pasokan mereka saat ini memiliki ketahanan tinggi, sedangkan 55% lainnya berharap dapat mengembangkan karakteristik tersebut dalam dua hingga tiga tahun ke depan (Gartner, 2020).
Black swan dari Rantai Pasokan di Era Pandemi
Selama ini resilienceatau ketahanan hanyalah sebuah aspek umum dari rantai pasokan yang jarang ditempatkan di tengah sorot utama pembahasan. Tidak sampai 1 dekade terakhir hingga serangan pandemi coronavirus disease (COVID-19) yang melanda sejak tahun 2020. Bagaikan black swan, ketahanan menjadi isu yang tidak dapat dipinggirkan ketika membahas hal-hal yang berkaitan dengan logistik dan rantai pasokan di tengah pandemi COVID-19.
Tourism Supply Chain Management (selanjutnya akan disingkat TSCM), menurut para ahli, didefinisikan sebagai rantai yang terdiri dari pemasok semua barang dan jasa, yang masuk ke pengiriman produk wisata kepada konsumen akhir. TSCM melibatkan berbagai macam pelaku pariwisata. Kemudian, tidak dapat dihindari bahwa pariwisata merupakan salah satu sektor unggulan Indonesia yang terus berkembang selama tiga tahun terakhir (2016-2019). Kedatangan wisatawan internasional di seluruh dunia tumbuh 4% pada 2019 hingga mencapai 1,5 miliar (UNWTO, 2019). Dari data yang diperoleh, infrastruktur pariwisata, khususnya Indonesia, sedang “dipersiapkan” sebaik mungkin untuk dapat menyaingi negara-negara Asia Tenggara dengan pariwisata terbaik, seperti Thailand, Singapura, dan lain-lain. Namun, tahun 2020 terjadilah sesuatu yang tidak diharapkan sebelumnya, yaitu pandemi COVID-19. Lalu bagaimana “nasib” TSCM kedepannya?
Riset mengenai Manajemen Logistik dan Rantai Pasokan (MLRP) selalu tumbuh dan berkembang hingga saat ini, akan tetapi tetap menarik untuk dibahas karena lingkungan dalam kegiatan bisnis juga terus berubah dan berkembang. Meskipun telah banyak riset yang dilakukan sebelumnya, hal ini ternyata tidak menjadikan topik MLRP menjadi ranum, hal ini disebabkan oleh tantangan-tantangan yang memberikan dampak ketidakpastian, baik di lapangan maupun secara konsep. Tantangan-tantangan tersebut menyebabkan lingkungan bisnis menjadi semakin dinamis dan akhirnya memicu keinginan dalam menemukan solusi terbaik demi memaksimalkan, mencapai efektifitas dan efisiensi kegiatan bisnis terutama pada aspek rantai pasokan, yang kemudian menjadi pemicu para akademisi dan praktisi untuk tidak berhenti melakukan riset dan pengembangan baik untuk menguji hal yang telah ada atau mengeksplorasi hal baru pada setiap isu yang berhubungan dengan MLRP.
COVID-19 dan rantai pasokan.
Seperti yang kita semua tahu, guncangan yang dibawa oleh COVID-19 sangatlah parah untuk rantai pasokan dunia. Di tengah guncangan besar ini, “resilience” menjadi topik yang hangat didiskusikan, baik itu sebagai aspek penting yang ‘dilupakan’ banyak organisasi dunia ketika membangun strategi rantai pasokan mereka, maupun sebagai aspek penting dalam pengembangan strategi dan infrastruktur pemulihan rantai pasokan seluruh organisasi di dunia.
Nyatanya, membangun resilience atau ketahanan memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Tidak banyak organisasi yang mampu mengamankan jaringan pasokannya tanpa terguncang oleh COVID-19. Namun, Flex menjadi salah satu perusahaan elektronik dunia, yang memiliki 10.000 vendor produksi di China, yang mampu melakukannya. Di saat COVID-19 masih menjadi epidemi di China, Flex dengan sigap mengambil langkah-langkah preventif yang memperhitungkan kemungkinan dampak terburuk yang akan dialami jika COVID-19 menjadi pandemi dan menyebar ke seluruh dunia.
Lean dan agile, merupakan dua strategi yang paling banyak digunakan dalam rantai pasokan.
Pada banyak sisi, kedua strategi ini berlawanan satu sama lain. Saat strategi lean berfokus pada pengurangan biaya dengan memproduksi barang dalam jumlah besar dan tingkat fleksibilitas yang rendah, strategi agile berfokus pada pemenuhan permintaan pasar dengan memproduksi barang dalam jumlah kecil dan dapat disesuaikan atau memiliki tingkat fleksibilitas tinggi. Lalu, simanakah letak perbedaan lain kedua strategi ini secara spesifik?
Pernah mendengar model bisnis bernama continuous intelligent planning?
Model ini berkaitan dengan penggunaan data internal dan data eksternal untuk membentuk alur kerja yang terinformasi dengan baik. Ditambah lagi dengan memadukannya dalam platform yang menghadirkan artificial intelligence (AI), otomatisasi, dan teknologi baru lainnya seperti blockchain dan Internet-of-Things (IoT).
Diungkapkan Jonathan Wright, mitra pengelola dan pimpinan rekayasa ulang proses kognitif global di IBM Service, model bisnis ini sesuai untuk diterapkan di masa depan sebagai evolusi strategi dan perencanaan rantai pasokan menghadapi pandemi coronavirus disease (COVID-19). Wright menyoroti, bahwa akibat pandemi, volatility atau sifat mudah berubah akan menjadi norma baru pada sistem rantai pasokan masa depan. Sehingga, basis operasi di masa depan haruslah bertumpu pada informasi real-time yang cepat berubah, alih-alih data serial-historis.
Bagaimana rantai pasokan berperan dalam menuntaskan bencana kemanusiaan?
Masalah akibat pandemi yang terjadi saat ini merupakan disrupsi yang luar biasa dan tidak terduga sebelumya, sehingga bisa dianggap sebagai salah satu bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Hal ini telah memengaruhi banyak aspek kehidupan manusia, termasuk rantai pasokan itu sendiri, serta logistik dan rantai pasokan kemanusiaan atau humanitarian logistics and supply chain management (HLSCM). Begitulah gambaran besar terkait masalah yang manusia hadapi saat ini, yaitu pandemi coronavirus disease (COVID-19).
Pernahkah Anda mendengar istilah FOMO?
FOMO // Fear of Missing Out // Anxiety that an exciting or interesting event may currently be happening elsewhere, often aroused by posts seen on social media. [lexico]
Ya, FOMO merupakan perasaan cemas dan takut akan ketinggalan sesuatu yang baru. Sesuatu yang dimaksud dapat bermacam-macam, salah satunya tren fashion.
Sebelum pandemi melanda, dunia mode dipenuhi dengan konsumen berslogan “I want it now!”. Dipadukan dengan kecepatan internet dan kecanggihan media sosial saat ini, menjadi “yang terkini” sama artinya dengan bentuk “aktualisasi diri” bagi pecinta mode. Pada sisi lain, hal ini memicu timbulnya budaya FOMO pada dunia mode.
Mengapa kinerja rantai pasokan harus dinilai?
Bayangkan rantai pasokan sebagai rangkaian rantai sepeda yang saling berhubungan. Agar sepeda bergerak, rantai harus tetap terhubung dan bergerak bersama. Ketika satu rantai putus, satu rantai itu bisa terlepas dari seluruh rangkaian rantai yang sekarang menjadi tidak berguna. Sepeda tidak dapat berfungsi sampai rantai yang putus diperbaiki. Sepeda seperti sebuah perusahaan yang didukung oleh perusahaan-perusahaan lain dan membentuk rantai pasokan. Ketika satu perusahaan dalam rantai pasokan tidak berkinerja baik, hal itu akan mempengaruhi perusahaan lain, dan akhirnya seluruh operasi rantai pasokan. Dengan demikian, menjaga kinerja rantai pasokan merupakan hal yang penting. Pertanyaannya adalah bagaimana menilai kinerja rantai pasokan?